17 November 2024
SEJARAH YANG TIDAK BOLEH DILUPAKAN OLEH KITA SEMUA
13 Juli 2024
Dana Wakaf Baitul Asyi Mulai Dirusak
10 Maret 2024
HARI MAKAN MAKAN" ANTARA MUHIBBAH DAN DOSA
22 November 2023
Hama Tikus di Pidie Jaya Turun, Populasi Burung Hantu Meningkat
Banyak yang bertanya kepada saya, kenapa di Pidie Jaya khususnya wilayah, Meureudu, Meurah Dua, Ulim, dan Banda Dua banyak sekali tiang di tengah-tengah sawah
jawabannya adalah silahkan baca berita di:
https://www.kba.one/news/hama-tikus-di-pidie-jaya-turun-populasi-burung-hantu-meningkat/index.html
https://www.acehprov.go.id/berita/kategori/ekonomi/populasi-burung-hantu-di-pidie-jaya-meningkat-serangan-tikus-menurun
https://bandaaceh.pikiran-rakyat.com/aceh/pr-3367384765/peningkatan-populasi-burung-hantu-berhasil-tekan-serangan-tikus-di-pidie-jaya
https://marjinal.id/melawan-tikus-petani-pidie-jaya-andalkan-burung-hantu
Empat kelompok tani (Poktan) di tiga kecamatan di Pidie Jaya (Meureudu, Meurahdua, dan Ulim) secara aktif terlibat dalam pemeliharaan burung hantu. Pemeliharaan ini diinisiasi untuk menanggulangi serangan tikus pada tanaman padi yang pada saat itu semakin mengganas. Petani di Meurahdua dan Ulim membenarkan bahwa serangan tikus pada tanaman padi telah menurun seiring dengan peningkatan populasi burung hantu. Puluhan unit rumah burung hantu (Rubuha) kini tersebar di persawahan, menjadi tempat tinggal bagi burung hantu yang memangsa tikus antara 7-9 ekor dalam semalam. Para petani meminta kepada masyarakat agar tidak memburu atau menembak burung hantu jika ditemukan di sawah atau di pepohonan, termasuk di Rubuha yang tersebar di sekitar persawahan. Hasil pemeliharaan burung hantu terbukti efektif, dan serangan tikus yang sebelumnya menjadi ancaman serius bagi hasil panen, kini menurun secara signifikan. Pada masa sebelumnya, petani terpaksa menggunakan metode-metode ekstrem, seperti memasang arus listrik di sawah untuk menjerat tikus. Namun, penggunaan arus listrik ini tidak hanya merugikan ternak sapi tetapi juga menimbulkan kecelakaan fatal bagi beberapa warga yang tidak sengaja terinjak wayer berarus listrik yang lupa dimatikan. Meskipun petugas PLN telah memberikan larangan terhadap penggunaan arus listrik di sawah, beberapa petani awalnya tidak mengindahkannya. Namun, setelah menyadari risiko yang ditimbulkan, petani kini lebih memahami bahwa penggunaan arus listrik bukanlah solusi yang aman.
Demikian, semoga bermanfaat.
03 November 2023
SEUKE LHEE REUTOH (300)
Sebuah kalimat singkat dari lagu Rafli yang penuh teka teki pada diri saya tentang makna yang terkandung dalam syair ini, dan dengan penuh rasa penasaran saya, akhirnya saya menelusuri tentang sejarah dibalik kalimat itu, dan inilah sedikit dr dari sekian banyak kutipan yang saya dapat di website teman2 blogger lainnya.
Bila diartikan menjadi “Kaum Tiga Ratus sebagai biji drang, sebangsa kacang tanah yang tumbuh setelah musin memotong padi; segala jerami mati lalu tumbuh sendiri pohon drang dengan subur. Kaum Ja Sandang sebagai jeura haleuba (biji kelabat) warna kuning. Biji ini digunakan untuk campuran menghilangkan bau hanyir. Biji tersebut lebih besar sedikit dari biji drang. Kaum Ja Batee atau disebut Tok Batee bacut-bacut, yakni hanya sedikit. Kaum Imum Peuet, mereka yang mengguncang dunia maksudnya berpengaruh besar dan berperanan penting dalam pemerintahan.”
Asal muasal sebutan Lhee Reutoh atau “Tiga Ratus”, menurut cerita suatu ketika terjadi sengketa hebat antara golongan rakyat asli sekitar tiga ratus orang, dengan golongan pendatang Hindu sekitar empat ratus. Persengketaan hampir saja disusul dengan bentrok senjata antara dua golongan tersebut yang dipicu oleh kasus perzinahan. Namun, ditengah kecamuk tersebut, hadirlah penengah untuk memberikan jalan keluar dari persengketaan yang berlangsung.
Mereka yang bersalah akhirnya menerima keputusan, sehingga kesalahan mereka dimaafkan dan kedua pihak kemudian mengikat silaturrahmi dengan akrab. Cerita ini memang tidak terjamin kebenarannya, karena ada pendapat yang menyatakan bahwa sebutan lhee reutoh dimaksudkan 300 keluarga atau 300 pria yang sanggup berperang, bahwa yang dimaksud disini adalah persekutuan (konfederasi) zaman dulu dan pasti terjadi dalam masa kesukaran atau perjuangan bersama.
Ja Sandang atau Tok Sandang. ja atau to yang berarti nenek moyang, kedua nama tersebut juga disebut Eumpee (dalam bahasa Melayu: empu). Sedangkan Cut berarti kecil, dipakai untuk awal nama pria atau wanita terkemuka. Sandang yang sebenarnya berarti membawa sesuatu di bawah lengan yang diikat pada tali yang melingkar bahu, nama ini masih melekat pada seorang pria saudara lelaki dan banta dari Teuku Nek yang sekarang disebut Teuku Sandang.
Selain ada cerita turun temurun di kawasang Mukim XXII, wilayah suku pribumi Manteue atau sering disebut sekarang daerah Lampanah yang menceritakan bahwa ketika Sulatan Al-Kahhar berangkat ke Pidie untuk suatu pengamanan, maka melewati Mukim XXII Lampanah dan mengalami kehausan, tiba-tiba saja dia bertemu dengan orang penyandang nira (ie jok). Orang tersebut menawarkan air niranya kepada Sultan dan menyambutnya dengan begitu rasa lega terutama setelah selesai memimunnya.
Sultan pun berterima kasih dan mengundang orang tersebut ke Dalam (sebutan Istana, -pen) di Banda Aceh untuk memberikan dia penghargaan sebagai tanda balas jasa atas kebaikan yang diberikannya kepada Sultan. Namun, orang tersebut pun bertanya, bagaimana bisa dia masuk ke Dalam dan dikenal oleh para pengawal istana. Sultan pun memberi petunjuk kepada orang tersebut dengan menyandang bambu (pajok) nira serta memberikan tanda sehelai daun kelapa di kepalanya. Akhir cerita setiap kali Ja Sandang pergi ke Istana, lambat laun diangkat oleh Sultan menjadi kadi dengan gelar Maliku’l Adil (Malikon Ade) karena dipercaya sebagai orang baik.
Ja Batee atau Tok Batee, menurut cerita ketika Sultan Al-Kahhar merencanakan
pembangunann sebuah istana batu, maka dikeluarkan perintah supaya golongan
pendatang dari luar daerah ini bergotong royong untuk mencari dan membawa
batu-batu untuk pembangunan istana. Tiba-tiba pada suatu hari golongan ini saat
mengumpulkan batu, Sultan memberikan seruan bahwa pencarian batu bisa
dihentikan dan sudah cukup (tok batee). Sejak itulah golongan tersebut
dinamakan kaum Tok Batee.
Sedangkan kawom terakhir yang dikenal dengan Imum Peueut (Empat Imam) disebabkan karena mereka menempati empat mukim, yaitu Tanoh Abe, Lam Loot, Montasik dan Lam Nga. Setiap mukim yang didiami dikepalai oleh seorang imam masing-masing dan kesemuanya ada empat imam sehingga menjadi Imum Peueut.
Memang jika dilihat lebih telisik, Imum Peueut menunjukkan persekutuan berbeda dibandingkan tiga sukee (Lhee Reutoh, Ja Sandang dan Ja Batee). Perlu diketahui bahwa jabatan Imum sama sekali terpisah dari kawom. Imuem ini bertugas sebagai pemimpin dalam hal ibadah dan tidak memperoleh pangkat apa pun di dalam masyarakat.
Ureung Aceh adalah orang yang berjiwa kosmopolitan alias bisa menerima siapa saja atau suku bangsa apapun. Untuk mengelompokkan etnisitas, sistem kerajaan Aceh menyusun kependudukan berdasarkan negeri asal suku bangsa tersebut, sebagaimana dilukiskan dalam hadih maja “Sukee lhee reuthoh bak aneuk drang, Sukee ja sandang jeura haleuba, Sukee tok bate na bacut bacut, Sukee imuem peut yang gok-gok donya.” Harus diakui, tidak banyak orang memahami hadih maja tesebut.
Selain itu juga ada Imum yang menjadi kepala daerah (mukim), jabatan yang dimaksud adalah penguasa yang membentuknya tentu ada hubungan dengan agama.
Sukee di sini dalam kata lain artinya suku sehingga hadih maja ini menggambarkan keragaman suku bangsa di dunia yang berdomisili di Aceh. Semuanya berhasil disatukan oleh sultan Alaidin Riayatsyah Al Qahhar (5537-1565) di bawah panji Islam dan terayomi di bawah payung kerajaan Aceh Darussalam.
Suku lhee reutoh diumpamakan bak aneuk drang, berarti seperti
pohon padi yang tumbuh kembali setelah musim panen. Bahasa lain adalah sebuah
pengambaran tentang suku tiga ratus ini banyak sekali dibandingkan dengan suku
lain yang berada di tanah rencong. Kelompok suku tiga ratus ini di antaranya
Batak Karee, Mante, Gayo, Alas, dan Kluet. Sebagian Batak Karee saat itu
berdomisili di Lampanah dan Lamteuba, Aceh Besar. Sedangkan pendatang dari
India dan kawin dengan penduduk asli mareka dikelompokkan dalam suku ja
sandang. (http://acehabad.blogspot.com/2016/04/menelusuri-sejarah-keturunan-aceh-sukee.html)
Marcopolo, seorang pengembara Venetia, Italia yang mengaku pernah tinggal di
kerajaan Pasai selama lima bulan pada tahun 1292 M di zaman pemerintahan
Malikussaleh. Dalam catatan hariannya “The Travel of Marcopolo” melukiskan, di
Pasai banyak sekali berdomisili orang India, mereka kawin dengan penduduk asli
setempat. Al Qahhar juga mengakui keberadaan imigran Arab, Cina, Jawa, Bugis,
Jamee, Semenanjung tanah melayu, mareka ini dimasukkan dalam suku Tok Batee
yang diistilahkan na bacut bacut (kaum minoritas), mereka menguasai perdagangan
dan bisnis.
Sedangkan mantan para pemimpin yang tersisih atau diusir dari negerinya akibat berlawanan alur politk di negara asalnya, yakni semacam polical asylum (suaka politik) sekarang, dikelompokkan dalam Suku Imuem Peut, kelompuk ini digambarkan mampu menggoncangkan dunia, karena ilmu pengetahuannya. mereka dianjurkan kawin dengan penduduuk Aceh Asli agar melahirkan keturunan cerdas.
Kutipatan tulisan dan penjelasan secara langsung sudah cukup untuk bisa saya pahami bait lirik lagu Rafli tersebut. Semoga generasi muda Aceh tidak pernah melupakaan adat budaya endatu. Bercermin dari negeri tetangga Malaysia yang menanam paham, ilmu pengetahuan, jabatan atau apalah boleh internasional tapi tidak pernah melupakan adat dan budayanya, hal ini bisa dilihat dari gadis-gadis melayu yang masih setia dengan baju kurungnya. (http://sisadit.blogspot.co.id/)
01 Desember 2021
20 November 2021
26 Mei 2021
HASIL PENELITIAN RUSIA PADA MAYAT COVID-19
12 April 2021
HARI MAKMEUGANG DALAM UNDANG-UNDANG KERAJAAN ACEH
Dalam Qanun Meukuta Alam, Qanun Undang-Undang negara Kerajaan Aceh Darussalam.
Dalam Qanun Meukuta Alam itu disebutkan, sebulan sebelum datangnya hari makmeugang, dlm menyambut bulan suci ramadhan.
Sultan Aceh memerintahkan semua Uleebalang di Aceh utk mendata seluruh fakir miskin, anak yatim, orang sakit (lumpuh), orang buta, dan orang tua (lansia) yang tak lagi mampu mencari nafkah.
Semua data fakir miskin anak yatim, orang lumpuh dan orang buta harus sudah diterima oleh Sultan satu bulan sebelum hari makmeugang, baik hari makmeugang menyambut puasa, maupun hari makmeugang hari raya idul Fitri dan hari makmeugang hari raya idul Adha.
Atas perintah Sultan itu, lalu para Uleebalang memerintah semua mukim yg ada dlm wilayah kuasanya, utk memerintahkan semua Keuchik dlm wilayah kemukimannya, agar semua Kechik itu dapat mendata semua fakir miskin, orang lumpuh, orang buta, dan orang tua yg tak dapat mencari nafkah lagi dlm kampungnya masing-nasing.
Setelah, Keuchik mendata semua itu, Keuchik mengirimkan kepada Mukim, dan Mukim mengirimkan data itu kepada Uleebalang. Setelah Uleebalang memperoleh semua jumlah fakir miskin, anak yatim, orang sakit, orang buta, dan lansia. Lalu Uleebalang baru mengirimkan semua jumlah itu kepada Sultan yg memerintah di kerajaan Aceh.
Setelah Sultan Aceh menerima semua jumlah fakir miskin, anak yatim, orang sakit, orang buta, dan lansia dari Uleebalang seluruh Aceh. Sultan Aceh pun memerintahkan kepala Tandi Siasah (kepala gudang harta kerajaan) utk mengeluarkan bantuan kerajaan kepada seluruh fakir miskin, anak yatim dan orang sakti, serta orang buta dan lansia berdasarkan jumlah yg diterima Sultan dari masing-masing Uleebalang di seluruh Aceh.
Dalam Qanun Meukuta Alam disebutkan, masing-masing fakir miskin, orang sakit, orang buta dan lansia, mendapat anugerah Sultan untuk menyambut hari makmeugang dan memasuki bulan suci ramadhan, 5 hasta kain, dan sejumlah uang utk daging makmeugang, dan biaya selama bulan puasa.
Semua anugerah Sultan Aceh kepada fakir miskin, anak yatim, orang sakit, orang buta dan lansia dikirim melalui Uleebalang masing-masing. Uleebalang menyerahkan kpd Mukim. Mukim menyerahkan kpd Keuchik. Lalu Keuchik baru membagikan anugerah Sultan itu kpd fakir miskin, anak yatim, orang sakit, orang buta dan lansia yg ada dlm kampungnya nasing-masing.
Qanun Meukuta Alam juga menyebutkan, bila bantuan anugerah Sultan Aceh itu tdk sampai kepada penerima bedasarkan jumlah data yg diretima Sultan, maka Uleebalang yg bertanggung jawab dlm wilayah yg tdk sampai anugerah Sultan itu, Uleebalang tersebut langsung dipecat oleh Sultan Aceh.
Jadi, persoalan hari Makmeugang di Aceh, bukan persoalan main-main. Kerajaan Aceh dulu memasukkan pelaksanaan makmeugang ini dlm undang-undang kerajaan Aceh sebagai konstitusi kerajaan Aceh.
Itu artinya, negara kerajaan Aceh ketika itu bertanggung jawab sepenuhnya, bahwa tidak boleh ada masyarakat Aceh di hari makmeugang itu yg tdk bisa menikmati daging, baik dlm menyambut bulan suci ramadhan, maupun menyambut hari raya idul Fitri dan hari raya idul Adha.
Itu bentuk makmeugang di masa kesultanan Aceh. Setelah Aceh tdk lagi dlm pemerintahan Sultan, tradisi makmeugang ini terus berlangsung dlm masyarakat Aceh.
Kalau masa kerajaan Aceh makmeugang utk fakir miskin, anak yatim, orang sakit, orang buta dan lansia ditanggung oleh kerajaan. Maka, setelah kerajaan Aceh sdh tdk ada. Setelah itu masyarakat Aceh bersolidaritas sendiri membatu fakir miskin dan anak yatim pada hari makmeugang.
Kalau dlm sebuah kampung ada orang kaya. Maka orang kaya tersebut akan menanggung lebih dulu utk menyembelih dua atau tiga ekor kerbau atau sapi, yg dagingnya akan dibagikan pada masyarakat yg kurang mampu pd hari makmeugang.
Kemudian masyarakat kampung akan membayar harga daging makmeugang itu, setelah panen tahun depan (bayeue lheuh keumuekoh thon ukeue). Sehingga, orang kampung yg kurang mampu membeli daging pd hari meugang tdk berpikiran lagi.
Karena, utk kebutuhan daging makmeugang sdh ditanggung sementara, oleh orang kaya dlm kampung itu yg daging itu bisa dibayar setelah panen tahun depan. Dan ini sangat terbantu fakir miskin di kampung-kampung di Aceh dahulu.
Kemudian, dahulu seorang Keuchik belum bisa tidur pada malam makmuegang, kalau masih ada warga kampungnya yg hana mupat sie lom singeh uroe makmuegang. Biasanya, Keucik mendatangi keluarga miskin dlm kampungnya, menanyakan apa sdh ada daging utk hari makmeugang besok.
Kalau ada diantara warga kampung yg kurang mampu utk membeli daging makmeugang, maka Keuchik akan menanggung daging makmeugang utk keluarga miskin itu. Begitulah peran Keuchik dlm sebuah Gampong di Aceh dulunya.
Begitulah istimewanya hari makmeugang bagi orang Aceh.
Sumber: WAG