-->

Gampong Lueng Bimba Kemukiman Kuta Simpang - PIDIE JAYA

19 Desember 2010

MENGINGAT ACEH DULU

Tidak ada komentar :
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau Sumatera Timur hingga Perak di semenanjung Malaysia. Aceh merupakan salah satu bangsa di pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer dan pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka yangg meliputi wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu ketika dibawah kekuasaan Iskandar Muda.
Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon karena terlalu cinta sang Sultan dengan istri Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabar sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halaman yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengobati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi di Taman Budaya Banda Aceh.
Salah satu daerah yang sangat diperhatikan dan diistimewakan Sultan Iskandar Muda adalah Negeri Meureudu. Ketika Sultan Iskandar Muda berkuasa (1607-1636) Meureudu semakin diistimewakan. Menjadi daerah bebas dari aturan kerajaan. Hanya satu kewajiban Meureudu saat itu, menyediakan persediaan logistik (beras) untuk kebutuhan kerajaan Aceh.  Negeri Meureudu pernah dicalonkan sebagai ibu kota Kerajaan Aceh. Namun konspirasi politik kerajaan menggagalkannya. Sampai kerajaan Aceh runtuh, Meureudu masih sebuah negeri bebas.
Dalam percaturan politik kerajaan Aceh, negeri Meureudu juga memegang peranan penting. Hal itu sebagaimana tersebut dalam Qanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam, yang merupakan Undang-Undang (UU) Kerajaan Aceh. Saat Aceh dikuasai Belanda, dan Mesjid Indra Puri direbut, dokumen undang-undang kerajaan itu jatuh ke tangan Belanda. Oleh K F van Hangen, dokumen itu kemudian diterbitkan dalam salah satu majalah yang terbit di negeri Belanda.
Kutipan Undang-Undang Kerajaan Aceh itu, mensahihkan tentang keberadaan Negeri Meureudu sebagai daerah kepercayaan sultan untuk melaksanakan segala perintah dan titahnya dalam segala aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan Kerajaan Aceh Darussalam. Bahkan Negeri Meureudu pernah dicalonkan sebagai ibu kota kerajaan. Caranya, dengan menimbang air Krueng MeureuduKrueng Aceh. Hasilnya Air Krueng Meureudu lebih bagus. Namun konspirasi elit politik di Kerajaan Aceh mengganti air tersebut. Hasilnya ibu kota Kejaan Aceh tetap berada di daerah Banda Aceh sekarang (seputar aliran Krueng Aceh). Untuk mempersiapkan pemindahan ibu kota kerajaan tersebut, sebuah benteng pernah dididirkan sultan Iskandar Muda di Negeri Meureudu. Benteng itu sekarang ada di tepi sungai Krueng Meureudu. dengan air
Peranan Negeri Meureudu yang sangat strategis dalam percaturan politik Pemerintahan Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda hendak melakukan penyerangan (ekspansi) ke semenanjung Melayu (Malaysia-red). Ia mengangkat Malem Dagang dari Negeri Meureudu sebagai Panglima Perang, serta Teungku Ja Pakeh-juga putra Meureudu-sebagai penasehat perang, mendampingi Panglima Malem Dagang. Setelah Semenanjung Melayu, yakni Johor berhasil ditaklukkan oleh Pasukan pimpinan Malem Dagang, Sultan Iskandar Muda semakin memberikan perhatian khusus terhadap Negeri Meureudu. Kala itu sultan paling tersohor dari Kerajaan Aceh itu mengangkat Teungku Chik di Negeri Meureudu, putra bungsu dari Meurah Ali Taher yang bernama Meurah Ali Husein, sebagai perpanjangan tangan Sultan di Meureudu.
Negeri Meureudu negeri yang langsung berada dibawah kesultanan Aceh dengan status nanggroe bibeueh (negeri bebas-red). Dimana penduduk Negeri Meureudu dibebaskan dari segala beban dan kewajiban terhadap kerajaan. Negeri Meureudu hanya punya satu kewajiban istimewa terhadap Kerajaan Aceh, yakni menyediakan bahan makanan pokok (beras-red), karena Negeri Meureudu merupakan lumbung beras utama kerajaan.
Keistimewaan Negeri Meureudu terus berlangsung sampai Sultan Iskandar Muda diganti oleh Sultan Iskandar Tsani. Pada tahun 1640, Iskandar Tsani mengangkat Teuku Chik Meureudu sebagai penguasa defenitif yang ditunjuk oleh kerajaan. Ia merupakan putra sulung dari Meurah Ali Husein, yang bermana Meurah Johan Mahmud, yang digelar Teuku Pahlawan Raja Negeri Meureudu.Mengutip sejarawan Ong Hok Kham dalam tulisan yang menawan di Majalah Tempo, edisi 6 Oktober 1979 disebutkan, Iskandar Muda memiliki 40.000 pasukan terlatih. Lebih dahsyat lagi, Banda Aceh dikelilingi oleh gajah hingga 1.000 ekor, 200 kuda pilihan dan 5.000 meriam yang diimpor dari Turki serta mendatangkan teknisi dari sana. Pulau- pulau dipertahankan dengan benteng serta 200 kapal yang setiap kapal mengangkut 400 prajurit. Aceh memiliki mata uang yang diakui hingga ke India. Namun hal ini hancur karena didevaluasi untuk membiayai ongkos perang melawan Portugis.
Dalam perjalanan tugas Iskandar Muda ke daerah Semenanjung Melayu (Malaysia-red) tahun 1613, singgah di Negeri Meureudu, menjumpai Tgk Muhammad Jalaluddin, yang terkenal dengan sebutan Tgk. Ja Madinah. Dalam percaturan politik kerajaan Aceh negeri Meureudu juga memegang peranan penting
Peranan Negeri Meureudu yang sangat strategis dalam percaturan politik Pemerintahan Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda hendak melakukan penyerangan (ekspansi) ke semenanjung Melayu (Malaysia-red). Ia mengangkat Malem Dagang dari Negeri Meureudu sebagai Panglima Perang, serta Teungku Ja Pakeh-juga putra Meureudu-sebagai penasehat perang, mendampingi Panglima Malem Dagang.
Setelah Semenanjung Melayu, yakni Johor berhasil ditaklukkan oleh Pasukan pimpinan Malem Dagang, Sultan Iskandar Muda semakin memberikan perhatian khusus terhadap negeri Meureudu. Kala itu sultan paling tersohor dari Kerajaan Aceh itu mengangkat Teungku Chik di Negeri Meureudu, putra bungsu dari Meurah Ali Taher yang bernama Meurah Ali Husein, sebagai perpanjangan tangan Sultan di Meureudu.
Negri Meureudu negeri yang langsung berada dibawah kesultanan Aceh dengan status nenggroe bibeueh (negeri bebas). Dimana penduduk negeri Meureudu dibebaskan dari segala beban dan kewajiban terhadap kerajaan. Negeri Meureudu hanya punya satu kewajiban istimewa terhadap Kerajaan Aceh, yakni menyediakan bahan makanan pokok (beras), karena Negeri Meureudu merupakan lubung beras utama kerajaan. Keistimewaan Negeri Meureudu terus berlangsung sampai Sultan Iskandar Muda diganti oleh Sultan Iskandar Tsani.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Iskandar Muda membayar mahal tim penasihat profesional dari Turki. Mereka ahli dalam bidang: ekonomi, hukum, politik, strategi militer, pembuatan perlengkapan perang: kapal Laut, meriam dan senjata taktis; fuqaha, pakar pertanian, tenaga pengkaji dan peneliti pengembangan Ilmu pengetahuan umum, sastera dan pendidikan Islam.
Sejarawan dari Perancis Dennys Lombard dalam buku Kerajaan Aceh Zaman Iskandar Muda yang diterbitkan pada tahun  1986 menguraikan angkatan Laut Aceh
Iskandar Muda adalah riwayat yang mengisahkan dan sekaligus mengajarkan tentang keberanian bertindak sebagai pelakon, bukan menjadi penonton. Menceritakan sosok Iskandar Muda sekarang seperti memperdengarkan sebuah dongeng saja. Di balik itu semua, kita tentu saja bisa berharap kisah hidup Iskandar Muda menjadi inspirasi bagi generasi muda Aceh. Walaupun di nusantara ini (Malaysia dan Indonesia) tidak henti-henti menganguminya, sebagai orang Aceh juga tentu kita ingin lahirnya Iskandar Muda baru dalam menata Aceh ke depan . Iskandar Muda memimpin di tengah pergolakan dunia yang sama seperti hari ini. Tetapi dia menyadari cara memimpin dan mempertahankan marwah negerinya.
Situasi yang agak terbalik saat ini adalah apapun yang dilakukan oleh Iskandar Muda adalah kewajiban seorang pemimpin yang tentu saja bisa dilakukan hari ini. Iskandar Muda adalah manusia biasa yang dibina dan dibentuk menjadi ‘manusia luar biasa.’ Artinya dalam kepala dan jiwa Iskandar Muda ditanamkan sebuah sosok (Iskandar Zulkarnaein) yang akan menjadi mimpi Iskandar Muda ketika dia dewasa. Jadi, harapan untuk membangun Aceh itu sebenarnya ada pada mereka yang masih berjiwa muda. Sedang yang tua-tua untuk mencetak pemimpin. Inilah peran kakek di dalam keluarga Aceh. Sampai sekarang, tradisi menitipkan anak pada kakek memang sudah tidak ada lagi.
Padahal para kakek cenderung mengetahui dengan mata batin kelebihan dan kelemahan cucunya. Karena ilmu para kakek ini adalah ilmu kebijakan dan kebajikan. Maka memperingati kewafatan ke-373 Iskandar Muda, perlu kembali saling ‘menyapa’ antaragenerasi. Di pundak yang muda Aceh dititipkan. Sedangkan di pundak yang tua, kebijakan dan kebajikan diwarisi kepada generasi selanjutnya. Inilah pelajaran kehidupan yang dapat kita petik dari sepenggal kisah Iskandar Muda sebelum menjadi sultan Aceh.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terimakasih Komentarnya