-->

Gampong Lueng Bimba Kemukiman Kuta Simpang - PIDIE JAYA

13 Maret 2009

REL KERETA API DI LUENG BIMBA

2 komentar :

REN GEULITAN APUI

Berkas:Kabupaten Pidie Jaya.jpeg

Pidie, Aceh- PUP...pup...puiiiip Pertanda kereta api alias geuritan apui telah tiba. Anak-anak seusia SD yang berada sekitar pinggiran rel bersorak-sorak pertanda rasa gembira, begitu juga dengan anak-anak di Lueng Bimba Kecamatan Meurah Dua dulunya Kecamatan Meureudu. Terkadang mereka dilempari kacang rebus atau kacang goreng oleh penumpang, baik itu orangtuanya maupun famili yang kebetulan hendak bepergian atau bisa jadi baru saja pulang dari arah timur atau barat. Anak-anak berebutan mengambil oleh-oleh tadi.

Sementara sebagian lainnya terlihat `mengejar` kereta api yang berjalan sedikit agak lamban karena akan atau baru saja beranjak dari stasiun.

Di stasiun kereta api Meureudu, mereka menunggu orangtua kembali setelah dua atau tiga hari bepergian ke tempat famili/kerabat dekat di suatu kecamatan. Atau menanti ayahnya pulang mencari nafkah di perantauan baik sebagai pedagang antarkota dalam propinsi, buruh tani dan lain sebagainya. Biasanya, selain mereka membawa pulang segepok uang juga disaertai pakaian, kebutuhan anak-anak termasuk beragam keperluan rumah tangga dan sejenisnya.

Itulah Meureudu, riwayatmu dulu. Pada masa 1960-an hingga tahun 1970, ibukota kecamatan yang merupakan bekas salah satu Kewedanaan di Pidie itu cukup maju dan terkenal. Begitu pula Samalanga. Meski kotanya kecil, tetapi karena letaknya yang sangat strategis, terutama karena adanya stasiun kereta api yang tergolong lumayan besar, membuat wilayah itu relatif lebih duluan berkembang dibanding sejumlah kota-kota lainnya di Aceh khususnya di Kabupaten Pidie.

Hal itu dibenarkan, beberapa warga setempat yang mengaku sudah merasai pahit getirnya hidup di tiga zaman yang ditanya Serambi secara terpisah. Dibandingkan Sigli, yang merupakan ibukota kabupaten, keberadaan Meureudu tempo doeloe termasuk kota maju dan teramai. Konon lagi, Meureudu selain kaya dengan hasil pertanian, juga banyak menghasilkan berbagai jenis ikan laut serta potensial di bidang perikanan darat alias ikan air payau semisal bandeng.

Dari kota kecil berjarak kurang lebih 45 Km arah timur Sigli, waktu itu telah banyak diangkut -dengan kereta api, tentunya– hasil pertanian rakyat (pinang, kelapa, kopra, padi dan sebagainya) serta hasil industri rumah tangga khususnya tikar pandan dalam jumlah banyak. Tak heran kemudian banyak anak-anak asal Meureudu yang mampu melanjutkan sekolah dan kuliah ke kota-kota besar seperti Banda Aceh, Medan bahkan ada yang ke Pulau Jawa.

“Masa jayanya kereta api adalah juga masa jaya Kota Meuredu dan Samalanga. Lalu lintas orang dan barang tak pernah sepi. Sektor pertanian, pendidikan, niaga, hukum, pemerintahan berkembang dengan serentak. Tapi sejak tahun 1971, kereta api jugalah yang telah `mematikan` Meureudu. Ketika riwayat kereta api Aceh berakhir, perlahan lahan ibukota bekas kewedanaan itu mulai redup. Kereta api yang dinanti pun juga tak pernah kembali lagi.

Bus-bus dan truk Banda Aceh - Medan yang menggantikan kereta api sudah melewati jalan negara yang berjarak sekitar tiga kilometer dari ibukota. Keramaian lalu lintas beralih ke persimpangan jalan negara. Sementara Kota Meureudu yang di dalamnya juga terdapat kantor pemerintahan plus pusat perbelanjaan menjadi sepi senyap. Begitu pun itu masih syukur, karena ada para nelayan yang `meriuhkan` kota dengan kehadiran puluhan sampan kayuh (jalo jeue) yang setiap hari mendaratkan hasil tangkapan melalui sungai di pinggiran pasar ikan.

Sehingga suasana tampak agak ramai. Kala itu, Kota Meureudu nyaris menjadi kota mati. Keramaian dan kemajuan beralih ke Beureunuen Ibukota Kecamatan Mutiara. Untung saja, suasana sepi itu sesekali berubah menjadi marak lantaran adanya hiburan alias piasan malam seperti seudati tunang, biola, film layar tancap, akrobat, sandiwara dan sejenisnya. Hiburan rakyat sebagai pelepas rindu akan kesepian itu biasanya hadir ketika panen padi usai.

Ketika kereta api Aceh masih jaya, setiap pekan satu gerbong khusus memuat tikar pandan untuk dijual ke Medan setelah transit di Besitang. Dari Medan, tikar Made In Meureudu lalu diperdagangkan hingga ke sejumlah kota besar lainnya di Sumatera. Sekarang pun, tikar pandan yang dianyam wanita termasuk para gadis Meureudu, Meurah Dua dan sebagian Ulim dan Trienggadeng, tentunya dengan mutu dan kreasi yang lebih menarik diangkut dengan bus dan truk ke luar daerah.

Dari hasil industri rumah tangga ini, kaum wanita disana mampu menambah pendapatan keluarga.

Sungguh pun sekarang ini sudah ada tikar platik dan beragam jenis ambal, namun keberadaan tikar pandan rasanya sulit dilupakan. Jika Anda menelusuri sejumlah desa di Meureudu serta beberapa kecamatan lainnya di Pidie Jaya, mungkin hampir semua rumah memiliki tikar pandan. Selain sebagai tempat duduk lasehan sang tamu, juga sebagiannya dianyam khusus untuk musalla. Corak dan model disertai warna menarik, membuat tamu luar tertarik. Sehingga tidak mengherankan bila tikar itu dijadikan sebagai oleh-oleh khas Meureudu.

Kawasan penghasil tikar terbanyak di empat kecamatan disana antara lain, Desa Jurong Teupin Pukat, Beuringen, Pante Beureune, Lueng Bimba, Buangan, Dayah Kruet, Rieng Blang, Rieng Krueng, Rieng Mancang. Ulim meliputi Desa Siblah Coh, Bueng, Geulanggang, Tijien Usen, Tijien Daboh.

Sementara di Trienggadeng, tikar pandan banyak dianyam wanita di sejumlah desa dalam Kemukiman Pangwa. Pekerjaan ini juga digeluti remaja putri, bahkan usia SD pun mahir.

Lalu, bagaimana dengan sekarang? Menyusul lahirnya Pidie Jaya, Meureudu yang juga ibukota kabupaten kembali dikenali orang. Drs H Salman Ishak, Pj Bupati disana, tampaknya memiliki semangat tinggi dan bertekat untuk membangun daerah yang dipimpinnya hingga mampu bersanding dengan kabupaten/kota lainnya di Aceh. “Saya masih ingat betul, Kota Meureudu itu dulunya terasa sejuk karena semua got berfungsi. Pepohonan yang sengaja ditanami sepanjang jalan utama menjadikan tempat berteduh pejalan kaki,” kenang Salman.

Sejumlah tokoh Pidie Jaya menyebutkan, semangat Pj Bupati yang menggebu-gebu itu tampaknya akan menjadi kenyataan. Alasannya, para kabinet yang mangkal disana memberi dukungan besar terhadap kepemimpinan mantan Kepala Bappeda Pidie yang juga peraih guru teladan tingkat nasional beberapa tahun lalu. Kendati usia Pidie Jaya itu belum sampai empat bulan, namun roda pemerintahan disana mulai berjalan. Dengan berbagai keterbatasan terutama menyangkut sarana dan prasarana, namun mereka terus memacu untuk bisa berdiri sendiri.

Gedung peninggalan Kolonial Belanda yang sebelumnya sebagai Kantor Kewedanaan, kini disulap menjadi pendapa atau Meuligoue Pidie Jaya. Setelah direhablitasi, kelihatannya tak kalah dengan arsitektur masa kini. Sementara bekas kantor camat, dialih fungsi menjadi Kantor Bupati plus sekretariat Pemkab setempat. Kantor DPRK setempat juga tergolong lumayan.

2 komentar :

  1. bek le that tinggai hai tulisan nyan..
    maka jih eh malam ocey...!!!!!!

    BalasHapus
  2. teurimong geunaseh kritiknya, jeuet, memang lon eh sabe watee malam hai dek Rahma

    BalasHapus

Terimakasih Komentarnya