-->

Gampong Lueng Bimba Kemukiman Kuta Simpang - PIDIE JAYA

21 Oktober 2010

KONFLIK PANJANG ACEH

2 komentar :
Sejarah besar Aceh menjadi goresan tinta emas bagi dunia, Aceh adalah kejayaan dan tamaddun (peradaban) tinggi yang dibangun sejak berabad-abad lampau. Masa-masa emas dari beberapa kerajaan Islam berdaulat, seperti Kerajaan Samudera Pasai yang kemudian digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, dengan pujangga-pujanga besar dan pelabuhan-pelabuhan dagangnya yang tersohor di Selat Malaka, Jalur strategis perdagangan dunia. Karena potensi inilah bagi Negara-negara Kapitalis, Aceh menjadi salah satu Incaran daerah jajahan mereka demi memperebutkan dan menguasai segala potensi alam yang ada di Bumi rencong ini.

Melihat Aceh hari ini kita harus jauh mundur ke belakang hingga tanggal 26 Maret 1873, ketika Belanda pertama kalinya menyatakan perang kepada Aceh di Kapal Perang Citadel van Antwerpen. Sejak saat itulah Aceh tidak pernah sepi dari konflik dan perang yang berkepanjangan dengan Belanda. Bahkan periode 1876-1896 merupakan Perang Aceh dengan Belanda terlama yang berlangsung dalam sejarah kolonial.

Perang Aceh memang berakhir dengan kekalahan di pihak Aceh. Kutaradja, pusat pemerintahan Kesultanan Aceh, berhasil diduduki belanda. Tengku M. Daudsyah, sultan Aceh terakhir, mengirimkan surat tertanggal 14 januari 1903 kepada Gubernur Jenderal Van Heutsz, yang berisi pernyataan kesetiaan kepada pemerintah kolonial Belanda. Setelah sultan ditawan pada tahun 1904 dan dibuang ke pulau Jawa, Belanda melaksanakan pemerintahan sipil di Aceh dibawah pimpinan seorang residen.

Namun, roh dari perjuangan panjang dan perlawanan gigih dalam mempertahankan tanah air terus hidup. “Aceh moord”, pembunuhan secara gerilya terhadap pejabat-pejabat kolonial, adalah roh yang tiada henti merongrong kolonial Belanda. “Orang Aceh dapat dibunuh, tapi tak bisa ditaklukan”, kata Van Der Vier dalam bukunya Atjeh Orloog (perang Aceh).

Penyebab utama konflik Aceh yang berlangsung hampir setengah abad lamanya mempunyai akar sejarah yang panjang yang merupakan akumulasi ketidakadilan dalam bidang politik, sosial-agama, eknomi dan HAM. Di era Sukarno, Aceh sebagai "daerah modal" kemerdekaan mengalami kekecewaan melalui "degradasi politik" dimana terjadi penurunan status propinsi Aceh. Setelah itu janji perdamaian dengan keistimewaan dalam agama dan pendidikan tidak pula dilaksanakan. Pada era Suharto Aceh telah berperan sebagai "daerah modal" pembangunan. Konflik Aceh mendapat dimensi baru dengan adanya minyak dan gas pada tahun 1970an dimana pusat memperoleh keuntungan yang sangat besar dibandingkan dengan bagian Aceh (kurang dari 5%). Kesan "Air Susu dibalas Air Tuba" pernah dikemukakan sebagai perlakuan pusat terhadap Aceh.

Pada masa kemerdekaan, ketika pemerintahan Soekarno-Hatta baru berumur sebulan, yaitu pada tanggal 15 September 1945, untuk pertamakalinya pertikaian Aceh dengan Indonesia terjadi yaitu pada saat Teuku Muhammad Daud Cumbok, putra Ulee Balang menentang kemerdekaan RI di Aceh. Yang kemudian dikenal dengan “Peristiwa Cumbok”. Sejak saat itulah dikotomi Indonesia-Aceh mulai menguat melalui beberapa peristiwa penting seperti yang tercantum secara kronologis sebagai berikut ini :
  1. 15 September 1945, Teuku Muhammad Daud Cumbok, putra Ulee baling Desa Cumbok menentang kemerdekaan RI di Aceh. Kejadian ini dikenal dengan “Peristiwa Cumbok”.
  2. 16 Juni 1948, Presiden Soekarno di Hotel Atjeh di Banda Aceh bersumpah atas nama Allah di depan Daud Beureueh untuk memberikan hak-hak rakyat Aceh dan menyusun rumah tangga sesuai Syariat Islam.
  3. 1949, Daud Beureueh mengalang pengumpulan dana dari rakyat untuk membiayai pemerintah RI. Dalam dua hari terkumpul 500.000 dolar Amerika yang disalurkan 250.000 kepada angkatan perang, 50.000 untuk perkantoran, 100.000 untuk pengembalian pemerintah dari Yogyakarta ke Jakarta dan 1.000 kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh mengumpulkan 5 kg emas untuk membeli obligasi pemerintah membiayai Perwakilan RI di Singapura, pendirian Kedutaan Besar RI di India dan pembelian dua pesawat terbang untuk transportasi pejabat RI.
  4. 1948-1949, Sekitar 3.000 warga Aceh ikut perang "Medan Area" untuk mempertahankan Indonesia dari Belanda.
  5. 23 Januari 1951, Perdana Menteri M Natsir membacakan surat peleburan Provinsi Aceh ke Provinsi Sumatera Utara di RRI Banda Aceh.
  6. 21 September 1953, Daud Bereueh memproklamirkan Darul Islam setelah kongres ulama di Titeue Pidie.
  7. 26 Februari dan Maret 1954, Prajurit dari Batalyon 142 dari Sumatera Barat menembak paling kurang 99 warga sipil di Kampung Pulot dan Cot Jeumpa Aceh Besar.
  8. 23 September 1955, Daud Beureuh diangkat sebagai Kepala Negara dan Wali Negara Aceh dalam Kongres Rakyat Aceh atau Kongres Batee Krueng.
  9. 27 September 1955, Indonesia mengirimkan pasukan dengan sandi Operasi 19 Agustus ke Aceh.
  10. 27 Januari 1957, Menteri Dalam Negeri Sunaryo melantik Ali Hasjmy sebagai gubernur Aceh dan Letnan Kolonel Sjamaun Gaharu sebagai Panglima Komando Daerah Militer Aceh.
  11. 8 April 1957, Perjanjian Ikrar Lamteh sebagai bentuk gencatan antara Darul Islam dengan Indonesia. Isi Ikrar Lamteh : Kami putera-putera Aceh, di pihak mana pun berada akan berjuang sungguh-sungguh untuk menjunjung tinggi kehormatan Islam, menjunjung tinggi kehormatan dan kepentingan rakjat Aceh.
  12. 15 Februari 1958, Daud Beureueh bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Permesta serta memutus hubungan dengan Kartosoewirjo. PRRI, Permesta dan DI/TII di Aceh mengadakan operasi bersama menumpas orang Soekarno dengan sandi Operasi Sabang-Merauke.
  13. 16 Mei 1959, Provinsi Daerah Istimewa Aceh berdiri, Wakil Perdana Menteri RI Mr. Hardi mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 1/Missi/1959, isinya memberikan otonomi bidang pendidikan, agama dan adat istiadat.
  14. 15 Desember 1961, Daud Beureueh memproklamirkan Republik Islam Aceh di Aceh Utara.
  15. 9 Mei 1962, Daud Beureueh beserta pasukan setia yang dipimpin oleh Teungku Ilyas Leube turun dari gunung di Langkahan Aceh Timur dan menghentikan perang.
  16. 22 Desember 1962, Rekonsiliasi dalam Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA) yang melahirkan Ikrar Blang Padang.
Setelah masa pemerintahan Soekarno-Hatta berakhir, dan rezim Orde Baru berkuasa persoalan Aceh masih terus membayangi pemerintahan Soeharto ini. Bahkan tindakan represif yang diberlakukan di tanah rencong ini makin nyata melalui beberapa operasi militer yang digelar di Aceh.

Awalnya pada tahun 1972 Daud Beureueh mengumpulkan kekuatan DI/TII untuk menggalang perlawanan pemerintah pusat dan mengutus Zainal Abidin (Menteri Dalam Negeri Pemerintah Islam Negara Aceh) menjemput kakaknya Hasan Tiro di Kolumbia Amerika. Dan pada Sabtu pagi tanggal 4 Desember 1976, Hasan Tiro Mendeklarasikan Aceh Merdeka (AM) di Gunung Tjokkan. Sejak saat itulah beberapa operasi militer di gelar di Aceh. Dan pada rezim Orde Baru puncaknya adalah ditetapkannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dengan sandi Operasi Jaring Merah.
  1. 1978-1982, ABRI gelar “Operasi Sedar” mencari anggota AM 
  2. 1979, ABRI gelar “Operasi Jeumpa” mencari anggota AM 
  3. 1982-1989, ABRI gelar “Operasi Siwah” mencari anggota AM 
  4. 1986, 42 anggota Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) angkatan I mengikuti latihan militer di Kamp Tazura Libya 
  5. 11 Maret 1987, Hasan Tiro menjadi warga negara Swedia dengan nomor induk kependudukan (NIK) 250925-7016 
  6. Mei 1989, Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dengan sandi Operasi Jaring Merah 
  7. Agustus 1993, Draf resolusi persoalan Timor Leste, Aceh dan dan Papua Barat dibahas di Markas PBB Jenewa. Pertama kali, Hasan Tiro dan Yusuf Daud ke Jenewa membicarakan masalah-masalah Aceh dalam sidangsidang HAM 
  8. 14 Oktober 1996, Rektor Unsyiah Dayan Dawood mengusulkan agar predikat daerah rawan Aceh dicabut karena merugikan secara ekonomi 
  9. 29 Desember 1996, Kepala Kepolisian Daerah Aceh Kolonel Suwahyu menilai Aceh sudah cukup aman dan operasi militer sebaiknya diganti dengan operasi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Dua pekan kemudian, dia diganti.
Konflik yang terjadi di Aceh selama kurun waktu 30 tahun merupakan salah satu konflik berdarah yang berlangsung dalam interval waktu yang relatif lama. Bahkan bila diruntut lebih jauh, Aceh dicabik-cabik oleh konflik dan peperangan selama lebih dari 125 tahun yang dimulai dari gerakan perlawanan rakyat Aceh terhadap Kolonial Belanda pada awal tahun 1870-an hingga periode awal abad ke-20. Periode kekerasan berlanjut pada perang kemerdekaan RI, perlawanan Tengku Muhammad Daud Beureueh pada periode pemerintahan Soekarno hingga proklamasi Gerakan Aceh Merdeka oleh cucu Pahlawan Nasional Tgk. Cik Di Tiro, yaitu Hasan Tiro pada tanggal 4 Desember 1976, sekaligus menandai klimaks kekecewaan atas Jakarta di bawah administrasi Soeharto. Dengan demikian Aceh terlibat dalam konflik anak negeri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tahun 1976 hingga ditandatanganinya MoU Damai antara Pemerintah RI dan GAM 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
 
Setelah Pemilu 7 Juni 1999, kekerasan masih terus terjadi dan tuntutan referendum atau Aceh Merdeka semakin terasa gemanya di masyarakat, disamping tuntutan otonomi khusus. Tuntutan referendum yang sebelum Pemilu 1999 disuarakan mahasiswa dan GAM, tuntutan ini didukung pula oleh ulamaulama dayah yang mengadakan musyawarah di Banda Aceh tanggal 13-14 September 1999 dan SIRA. Ulama-ulama yang membentuk HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh) ini menuntut pemerintah pusat segera melaksanakan referendum atau jajak pendapat dibawah pengawasan masyarakat Internasional.

Sehari setelah musyawarah tersebut, HUDA, SIRA dan seluruh komponen masyarakat Aceh mengadakan doa bersama (istigotsah) di halaman mesjid raya Baiturrahman, Banda Aceh. Kegiatan ini juga dihadiri pimpinan poros tengah antara lain M.Amien Rais (PAN), Abdurahman Wahid dan Matori Abdul Djalil (PKB).

Upaya-upaya penyelesaian konflik Aceh sudah cukup serius dan maksimal dilakukan oleh SBY-JK. Upaya tersebut berangkat dari hati nurani dan pikiran jernih serta solidaritas kemanusiaan, di mana rakyat Aceh sudah cukup lama terlibat konflik yang mengakibatkan timbulnya kerugian jiwa dan harta benda yang tidak sedikit. Konflik tersebut telah mencabik-cabik rasa aman masyarakat dan akhirnya menghambat upaya pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Faktor lain berupa gempa dan tsunami juga mempercepat dorongan bagi pemerintah RI guna mengakhiri derita phisik dan psikis rakyat Aceh.

Pada sisi lain Gerakan Aceh Merdeka sebagai gerakan yang melakukan perlawanan terhadap Jakarta, juga memiliki keinginan untuk menyelesaikan konflik Aceh. Mempertemukan keinginan Pemerintah RI dan GAM dalam rangka menyelesaikan konflik Aceh tentu tidak semudah yang dibayangkan. Olehnya karenanya kearifan dan kerendahan hati para pemimpin sebagaimana yang ditunjukkan oleh Muhammad Jusuf Kalla menjadi penting dan menentukan bagi terwujudnya proses perdamaian di Aceh. Kesabaran para negosiator dari kedua belah pihak dalam melakukan pembicaraan-pembicaraan turut menjadi faktor mempercepat perdamaian di Aceh. Puncaknya adalah ditandatanganinya Nota Kesepahaman (MoU) antara Pemerintah RI dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia dengan mediator Mr. Martti Ahtisaari.
 
Konflik Aceh yang berkepanjangan telah menghancurkan seluruh sendi kehidupan masyarakat Aceh. Puluhan ribu menjadi korban kekerasan, hancurnya dunia pendidikan, hilangnya kesempatan kerja, aktivitas ekonomi rakyat tidak berjalan dan rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Konflik juga telah menimbulkan trauma, beban psikis dan luka sosial yang cukup dalam bagi masyarakat Aceh. Dampak konflik ini tentu membawa kerugian besar bagi kehidupan bangsa Indonesia.

Demikianlah beberapa pikiran penting tentang pola penyelesaian konflik dalam konteks pemerintahan Aceh. Semoga MoU damai yang ditandatangani antara Pemerintah RI dan GAM di Helsinki-Finlandia tanggal 15 Agustus 2005 benar-benar membawa berkah dan kedamaian abadi serta kesejahteraan, keadilan bagi seluruh masyarakat Aceh. Amin!

2 komentar :

  1. assalamualaikum.sudah bagus walaw masih banyak kekurangan disana sini, saudara hanya menulis kronologis peristiwa mudah mudahan banyak mamfaatnya.membaca begitu kentalnya koflik di aceh yg sudah berabad abad wajarlah klw aceh itu menuntut kemerdekaannya, krn peperangan aceh dgn belanda kan belum selesai tapi disambung vs RI,seharusnya blanda harus terlibat menyelesaikannya krn aceh perang vs belanda kok akhir perang nya berundingnya dgn RI ?? trim,s. wassalam.

    BalasHapus
  2. trim,s. atas iformasinya teungku semoga bermamfaat bagi yg membacanya walaw pun banyak kekurangan disana sininya,sebab saudara hanya menulis kronologis peristiwa sejarah konflik saja,menyimak tulisan saudara wajarlah klw aceh menuntut kemerdekaannya krn peperangan aceh vs belanda belum selesai anehnya perang dgn belanda kok peyelesaian perangnya dgn RI. han ek ta pikei teungku pakeun jet lagei nyan.

    BalasHapus

Terimakasih Komentarnya