-->

Gampong Lueng Bimba Kemukiman Kuta Simpang - PIDIE JAYA

04 April 2010

Kemukiman Bagi Orang Aceh
Tidak ada komentar :
Aceh adalah salah satu daerah atau provinsi Istimewa di Indonesia, selain itu Aceh adalah juga daerah yang pertama masuk Agama Islam di Asia Tenggara. Ada sedikit perbedaan antara Aceh dengan Indonesia yaitu pada Organisasi Pemerintahan. Seperti yang di ketahui bahwa Organisasi Pemerintahan di Indonesia ini adalah : Indonesia yang di Pimpin langsung oleh Presiden kemudian dibawahnya ada Provinsi yang di Pimpin oleh Gubernur, di bawah Pemerintah Provinsi ada lagi Kabupaten/Kota yang di Pimpin oleh Bupati/Wali Kota, setelah itu baru di bawahnya Kecamatan yang di Pimpin oleh Camat dan yang terakhir adalah Desa yang di Pimpin oleh Lurah/Kepala Desa.

Sedangkan di Provinsi Aceh ada sedikit perbedaan dalam Organisasi Pemerintahan ini adalah: Indonesia yang di Pimpin langsung oleh Presiden kemudian dibawahnya ada Provinsi yang di Pimpin oleh Gubernur, di bawah Pemerintah Provinsi ada lagi Kabupaten/Kota yang di Pimpin oleh Bupati/Wali Kota, setelah itu baru di bawahnya Kecamatan yang di Pimpin oleh Camat, Kemudian ada Kemukiman yang di Pimpin oleh Kepala Mukim dan yang terakhir adalah Desa yang di Pimpin oleh Lurah/Kepala Desa.

Pada Masa Kerajaan
Kata “mukim” berasal dari Bahasa Arab. Mukim berarti “berkedudukan pada suatu tempat”. Oleh orang Aceh diterjemahkan sebagai suatu wilayah tempat menetap yang terdiri dari beberapa perkampungan. Istilah ini berkaitan erat dengan keyakinan orang Aceh yaitu Agama Islam. Menurut Mazhab Syafi’i yang dianut oleh hampir seluruh orang Aceh, shalat Jumat baru dianggap sah apabila jumlah makmumnya sekurang-kurangnya 40 orang pria dewasa dan berpikiran sehat (Ahmad, tt: 88). Sementara jumlah penduduk pria dewasa di setiap gampong hampir tidak mencukupi jumlah tersebut pada masa itu. Bila jumlahnya tidak cukup 40 orang, berarti Salat Jumat tidak dapat dilaksanakan. Oleh karenanya, dibentuk kumpulan gampong (federasi gampong) yang disebut Mukim sehingga dapat tercapai jumlah yang diisyaratkan itu.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Snouck Hurgronje. Menurut dia bahwa perwilayahan Mukim mempunyai asal muasal pada keperluan jumlah jamaah menyelenggarakan shalat Jumat sebagaimana ketentuan Mazhab Syafi’i yang merupakan mazhab yang dianut oleh Orang Aceh (Ng. Singarimbun, tt: 91-92). Pendapat agak berbeda dikemukakan oleh Van Langen, yaitu pada mulanya pembentukan mukim didasarkan kepada jumlah penduduk laki-laki dalam suatu pemukiman yang mampu bertempur melawan musuh, yaitu minimal 1.000 (seribu) orang.
Berdasarkan pendapat di atas, sudah dapat dipastikan bahwa setiap mukim mempunyai sekurang-kurangnya satu buah mesjid, bahkan kini ada 2 buah atau lebih. Jadi, mukim adalah gabungan dari gampong dan merupakan kesatuan hukum yang bercorak agama yang mana pimpinan mukim disebut dengan imeum mukim.
1. Pada Masa Sultan Iskandar Muda
Menurut kronika-kronika Aceh, pembagian ketatanegaraan dalam bentuk mukim terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Sebagai seorang raja Islam, baik sebagai kepala urusan-urusan keduniawan maupun kerohanian, cepat-cepat ia menyadari, bahwa kerajaan Aceh sebagai Negara Islam dapat diandalkan hanya dengan mempererat hubungan organisasi kerajaan. Jika pada masa itu kampung merupakan satu kesatuan dalam susunan ketatanegaraan yang diperintah oleh seorang ketua yang dinamakan keuchik (Kepala Desa), maka Iskandar Muda menetapkan, bahwa tempat-tempat atau kampung-kampung yang penduduknya melakukan sembahyang Jum’at dalam mesjid yang sama merupakan daerah yang disebut mukim (hanya ada di Aceh)
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di seluruh Kerajaan Aceh terdapat 7 buah mesjid, yang paling besar dan diutamakan adalah Mesjid Baiturrahim yang terletak di Kutaraja yang menjadi sangat terkenal oleh gempuran Belanda pada ekspedisi kedua.
Lama kelamaan setelah Islam semakin berakar, para imam yang tadinya mengimami sembahyang Jum’at di mesjid-mesjid itu berhasil pula melaksanakan kekuasaan-kekuasaan keduniawian terhadap penduduk kampung-kampung yang bersembahyang Jum’at di mesjid-mesjid yang sama. Lambat-laun para imam itu menyerahkan urusan-urusan kerohanian di dalam daerah mereka kepada orang-orang lain supaya mereka lebih mantap dapat mengurusa pemerintahan. Oleh karena itu ketua yang memerintah sesuatu mukim kadangkala dinamakan Imeum mukim atau Imeum adat untuk membedakan antara Imeum seumayang di dalam mesjid.
Dengan demikian, kesatua bangsa asli, yaitu gampōng melebur dalam kesatuan ketatanegaraan, yaitu mukim dan akibatnya itu para kepala kampung atau keuchik menjadi bawahan Imeum mukim.
Semakin banyaknya penduduk dan meluasnya daerah kampung, maka dengan sendirinya di antara beberapa anggota yang mengurus kepentingan keluarga dan umum merasakan perlunya mereka lebih bersatu dalam mengerjakan kewajiban-kewajiban agama, yaitu sembahyang lima waktu, melaksanakan pendidikan agama bagi anak-anak dan sebagainya dalam tempat beribadat yang dinamakan binasah atau meunasah (Hanya ada di Aceh) dan terjadilah pembagian kampung dalam meunasah-meunasah.
Ketua meunasah dinamakan Teungku meunasah; ia pun turut dalam mempertahankan kepentingan jama’ahnya di bidang keduniawian, sehingga dengan ia menjadi wakil kepada kampung. Karenanya dewasa ini kesatuan rakyat terkecil adalah meunasah.
Namun Imeum induk mukim tetap menjalankan kekuasaan tertinggi (walaupun terhadap mukim-mukim baru) dan memperoleh gelar ulèebalang, yaitu kepala atau panglima balatentara yang menunjukkan, bahwa dalam peperangan ia harus bertindak selaku kepala yang memimpin pasukan-pasukan bersenjata di dalam daerah gabungan mukimnya.
Kita menjumpai juga mukim-mukim yang berdiri sendiri dengan kepala-kepala pemerintahannya yang tidak bergelar ulèebalang, baik karena mereka tidak dapat memperoleh gelar tersebut maupun karena menganggap diri mereka otonom dan terlepas dari ulèebalang di bawah ulèebalang-ulèebalang lain, tetap hal ini merupakan pengecualian.

Pada Zaman Hindia Belanda
Pada zaman Hindia Belanda, mukim tidak diatur secara khusus dalam undang-undang. Undang-undang lebih banyak mengatur pemerintahan desa. Pengaturan tentang mukim terdapat pada Besluit Van den Gouvernuer General Van Nederland Hindie 18 Nopember 1937 Nomor 8. Pengaturan pemerintahan desa pada zaman Hindia Belanda, tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa-desa. Penerapan kedudukan desa secara yuridis pertama kali diatur dalam pasal 71 regerringsreglement 1854 (Pasal 128 IS).
Dengan dasar ketentuan dalam RR tersebut, keluar ordonantie yang mengatur lebih jauh tentang pemerintahan desa, yakni ordonantie tanggal 3 Februari 1906 yang termuat di dalam staatsblat 1902, yang merupakan rangkuman terhadap ordonantie-ordonantie yang berlaku pada daerah-daerah di luar Jawa dan Madura. Pada prinsipnya, materi yang diatur di dalam setiap ordonantie itu adalah tentang susunan, kedudukan, hak-hak, serta kewajiban-kewajiban pemerintah desa. Hal itu disesuaikan dengan keadan-keadaan pada daerah yang bersangkutan.
Untuk Aceh kedua peraturan itu tidak pernah diberlakukan sebab tidak ada persekutuan hukum (gampong dan mukim) yang dianggap setara dengan desa menurut IGO atau IGOB. Yang ada dalam Rechtsreglement Buitengewesten Stbl. 1927, no. 227 pasal 324 menyebutkan bahwa untuk Aceh, kepala desa yang ditugaskan menjalankan kepolisian dan mengusut keterangan-keterangan adalah keuchiek dan imeum mukim. Kemudian secara khusus diatur pula tentang pemerintahan imeum mukim dalam Besluit Van den Gouvernuer General Van Nederland Hindie 18 Nopember 1937 Nomor 8 yang diubah adalah penamaan wilayahnya dengan sebutan “Imeum Schaap”, sedangkan pemimpin tetap disebut imeum mukim.
Pada masa berlakunya IGO dan IGOB, pernah ada usaha pemerintah Hindia Belanda untuk mengadakan evaluasi, yakni usaha untuk menyeragamkan secara keseluruhan peraturan yang mengatur tentang pemerintahan desa. Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan mengajukan Rancangan Desa Ordonantie oleh Pemerintah Hindia Belanda pada Volksraad, pada tanggal 23 Januari 1941 ditetapkan dengan Stbl. 1941 No. 356 tertanggal 2 Agustus 1941 ditetapkan Desa Ordonantie, yang secara materiil isinya berbeda dengan ordonantie-ordonantie lama.
Dalam desa ordonantie ini, dikandung suatu prinsip bahwa desa diberikan kebebasan suatu prinsip bahwa desa-desa diberikan kebebasan untuk berkembang sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing desa, dan desa tidak lagi dikekang dengan berbagai peraturan, sehingga menghambat perkembangan desa itu.Namun dengan berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda yakni dengan masuknya bala tentara Jepang pada tahun 1942 ke Indonesia, Desa Ordonantie yang telah ditetapkan oleh Volksraad tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sehingga upaya penyeragaman peraturan yang mengatur tentang desa tidak terealisasi.

Pada Masa Jepang
Tidak banyak hal yang dapat dicatat dan dikemukakan mengenai pemerintahan desa dan mukim pada Zaman Jepang ini. Dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 diatur segala sesuatu mengenai peralihan pemerintahan dari Gubernur Pemerintahan Hindia Belanda kepada bala tentara Jepang. Selanjutnya, dengan Osamu Seirei Nomor 27 tahun 1942, ditetapkan susunan pemerintahan di Indonesia, yakni sebagai berikut :
1. Pucuk pimpinan pemerintahan militer Jepang dada di tangan Panglima Tentara ke 16 khusus untuk Pulau Jawa, yaitu Gunsyireikan atau Panglima Tentara, kemudian disebut Saikosikikan
2. Di bawah panglima ada kepala pemerintahan militer disebut Gunseikan
3. Di bawah Gunseikan ada koordinator pemerintahan militer untuk militer Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan sebutan Gunseibu
4. Gunseibu membawahi residen-residen yang disebut Syucokan, dan merupakan pemerintahan daerah tertinggi
5. Daerah Syu terbagi atas kotamadya (Si), dan kabupaten (Ken)
6. Ken terbagi lagi atas beberapa Gun (Kawedanan)
7. Gun terbagi lagi atas beberapa Son (kecamatan)
8. Son terbagi lagi atas beberapa Ku (desa)
9. Ku terbagi lagi atas Usa (kampung).
Melihat pada susunan pemerintahan Bala Tentara Militer Jepang, desa merupakan bagian dari kecamatan atau Son, sedangkan yang diartikan sebagai desa oleh pemerintahan Jepang, adalah :
..., suatu kesatuan masyarakat berdasarkan adat dan peraturan perundang-undangan Pemerintahan Hindia Belanda dan Pemerintahan Militer Jepang yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu, memiliki hak menyelenggarakan urusan-urusan rumah tangganya sendiri, merupakan satuan ketatanegaraan terkecil dalam daerah Syu yang dipilih oleh rakyatnya dan disebut Kuco, dan merupakan bagian dari sistem pertahanan militer (Kartohadikoesno, 1984: 51).

Secara formal terlihat, bahwa susunan pemerintahan pada zaman Jepang (termasuk pemerintahan desa) masih berlaku ketentuan-ketentuan pada era Hindia Belanda, cuma beberapa bentuk dan istilah yang disebut dengan istilah Jepang. Demikian juga ketentuan-ketentuan yang diatur dalam IGO dan IGOB masih tetap dinyatakan berlaku untuk pemerintahan desa, baik di Jawa dan Madura atau di luar Jawa dan Madura.
Di Aceh pemerintahan mukim tetap dipertahankan kecuali nama dan penyebutan yang tegas-tegas diubah disesuaikan dengan Bahasa Jepang. Mukim diubah menjadi Ku. Perubahan nama ini bertujuan agar pada diri pemimpim mukim diharapkan adanya suatu loyalitas terhadap pemerintahan Jepang.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Terimakasih Komentarnya