23 Januari 2018
GURITA, JASAMU TERKENANG
Dolles Marsael (Laot Ie Mata-Lagu Aceh) dan Junaida (Lambaian Terakhir-Lagu Melayu) mengabadikan namamu dalam syairnya.
KM Gurita adalah kapal feri yang tenggelam antara 5 - 6 mil laut dari Perairan Teluk Balohan, Kota Sabang, Aceh, yang terjadi pada tanggal 19 Januari 1996. KM Gurita merupakan alat transportasi utama yang menghubungkan Pelabuhan Malahayati, Banda Aceh dan Sabang.
Berdasarkan data yang dihimpun, 40 orang dinyatakan selamat, 54 orang
ditemukan meninggal, dan 284 orang dinyatakan hilang bersama-sama dengan
KM Gurita yang tidak berhasil di angkat dari dasar laut.
Kapal ini berangkat dari Pelabuhan Malahayati, Kruang Raya Aceh Besar, pukul 18.45 WIB menuju kota Sabang tanggal 19 Januari 1996. Menurut rencana, kapal tersebut seharusnya tiba di Pelabuhan Balohan pukul 21.00 WIB.
Kapal ini menurut penuturan saksi mata yang menyaksikan keberangkatan
kapal, melihat kapal memang kelebihan sekaligus sarat muatan, karena
kapal yang memiliki kapasitas 210 orang, ternyata disesaki hingga
mencapai 378 orang (282 orang warga Sabang, 200-an warga luar Sabang,
serta 16 Warga Negara Asing), itupun diperparah dengan muatan barang
yang mencapai 50 ton, meliputi 10 ton semen, 8 ton bahan bakar, 15 ton
tiang beton listrik, bahan sandang-pangan kebutuhan masyarakat Sabang
serta 12 kendaraan roda empat dan 16 roda dua. Kejadian itu terjadi tiga
hari sebelum pelaksanaan ibadah puasa, yaitu 22 Januari 1996.
Jum'at sore itu ramai sekali penumpang yang hendak berangkat ke Sabang
dengan Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Gurita yang bersandar di Dermaga
Pelabuhan Malahayati, Aceh Besar. Tidak ada yang aneh ketika sejumlah
penumpang bergerak memasuki kapal yang tergolong tua tersebut. Hanya
muatan yang penuh sesak dan seakan ini sudah menjadi kelaziman. Jadwal
pelayaran pada Jumat sore, 19 Januari 1996 itu bertambah padat karena
menyambut masuknya bulan suci Ramadhan yang jatuh pada 22 Januari 1996.
Dalam tradisi masyarakat Aceh, satu atau dua hari menjelang Ramadhan
adalah meugang, di mana pada saat-saat itulah semua anggota keluarga
sedapat mungkin bisa berkumpul. Saksi mata yang tak jadi berangkat
dengan KMP Gurita karena melihat kondisi kapal yang sarat penumpang
mengakui, pada saat meninggalkan Pelabuhan Malahayati, kapal yang naas
tersebut sarat penumpang dan barang.
Di kegelapan malam yang mencekam itu, KM Gurita mengalami gangguan cuaca
dan angin kencang dari arah timur. Terjadinya gangguan, ditambah muatan
yang melebihi kapasitas, mengakibatkan kapal tersebut menjadi oleng.
Nakhoda tak dapat menguasai kapal yang oleng ke kiri dan ke kanan. Saksi
mata mengatakan pada pukul 20:15 WIB, kapal penyeberangan itu masih
terlihat dari pelabuhan Balohan.
Sanak keluarga yang datang menjemput tak memperkirakan kapal tersebut
sedang mengalami gangguan dan tengah berjuang melawan badai. Lampu masih
terlihat jelas dari KM Gurita. Namun sekitar pukul 20:30 WIB, kapal
penyeberangan itu sudah tidak terlihat lagi. Sampai saat itu, belum ada
satu pun pejabat di pelabuhan Sabang yang menyatakan kapal mengalami
musibah. Pencarian terus dilakukan. hubungan dengan kapal terputus. Tak
ada tanda-tanda apa pun yang bisa diterima dari kapal feri itu.
Kepastian musibah baru diketahui empat jam setelah kejadian, yakni pada
saat salah seorang penduduk Pasiran, Kota Bawah Timur, Syahril (22
tahun) penumpang KM Gurita mampu berenang mengarungi lautan dengan ombak
yang ganas dan terdampar di Teluk Keuneukai. Kabar yang di bawa Syahril
itulah yang memastikan bahwa KM Gurita tenggelam di dekat teluk
Balohan. sejak saat itu, masyarakat di Pelabuhan Sabang, menjadi
gelisah. Sebagian masih tetap tabah menanti kedatangan keluarganya,
tetapi sebagian lagi mulai mencari daftar penumpang.
Dari penuturan Syahril yang mengatakan kapal tenggelam itulah,
disimpulkan bahwa hasil penyelidikan final Tim Pencari Fakta yang
bekerja selama sebulan menyatakan, jumlah penumpang yang ada di KM
Gurita ternyata 378 orang. Jumlah orang itu diperoleh setelah seluruh
data masuk dari masing-masing daerah. Dari jumlah itu, terbanyak berasal
dari Sabang, mencapai 282 orang dan 16 warga negara asing (WNA).
Sebenarnya, sejak beberapa tahun lalu masyarakat di Aceh, khususnya di pulau Sabang,
sudah memperkirakan bakal terjadi musibah atas KM Gurita. Perkiraan itu
setelah melihat kondisi feri penyeberangan tersebut yang sering
batuk-batuk dan tak layak untuk berlayar lagi. Namun, karena terbatasnya
armada angkutan, Ditjen Perhubungan Darat dalam hal ini PT ASDP
(Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan) terus mengoperasikan secara
reguler kapal tua yang dibuat tahun 1970 di galangan kapal Bina Simpaku,
Tokyo, Jepang tersebut.
Musibah yang menimpa KM Gurita tak terlepas dari kealpaan sejumlah
pejabat perhubungan di Aceh. Dari hasil penyelidikan yang dilakukan
Polda Aceh, ada enam pejabat di lingkungan Kantor Wilayah (Kanwil)
Perhubungan Aceh yang dinyatakan resmi sebagai tersangka kasus
tenggelamnya KMP Gurita. Berkas perkara keenam tersangka itu telah
dilimpahkan Polda Aceh Kejaksaan Tinggi dan terakhir, Kejati juga telah
menyerahkan berkas perkaranya ke pengadilan negeri di Banda Aceh. "Kita
sudah proses semua tersangka, tampaknya mereka dapat dikenakan
pasal-pasal yang memberatkan," ujar Kapolda. Keenam pejabat yang
dinyatakan sebagai tersangka tenggelamnya KMP Gurita itu adalah, AK
(Kepala Cabang PT ASDP Banda Aceh), Drs. Yus (Syahbandar), IH (Kepala
Bagian Operasi PT ASDP Banda Aceh) dan tiga pejabat di Bagian
Administrator Pelabuhan (Adpel) Malahayati yakni AS,KD dan BMA. Menurut
Kapolda waktu itu, walau mereka sudah dinyatakan sebagai tersangka,
namun belum dilakukan penahanan. karena diyakini, keenam tersangka tidak
akan melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti dan tidak pula
mengulangi perbuatannya, atas dasar itulah mereka tidak ditahan,” ujar
Kapolda. Keenam tersangka itu dipersalahkan melanggar pasal 263, 338,
359 KUHP serta undang-Undang Nomor 21/1992 tentang pelayaran. Pasal 263
KUHP dikenakan kepada para tersangka, karena para tersangka sengaja
memalsukan sejumlah dokumen mengenai pelayaran KMP Gurita, sehingga
terjadi musibah yang menewaskan ratusan orang itu. pada pasal 359 KUHP
disebutkan, karena kelalaian mereka menyebabkan hilangnya nyawa orang
lain. Sedangkan pasal 338 KUHP,karena perbuatan tersangka itu dianggap
sebagai pembunuhan, begitu juga Undang-Undang Nomor 21/1992 yang bisa
mengancam mereka dengan hukuman lebih dari lima tahun penjara. Semua
tuduhan itu mutlak diberlakukan kepada mereka. Dalam penyelidikan kasus
yang menarik perhatian masyarakat di tanah air itu, Polda Aceh telah
meminta sedikitnya keterangan 60 orang saksi, baik yang ada di Sabang
maupun di Banda Aceh dan kabupaten Aceh Besar. (SUMBER: Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Terimakasih Komentarnya