Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
13 Maret 2018
23 Januari 2018
GURITA, JASAMU TERKENANG
Dolles Marsael (Laot Ie Mata-Lagu Aceh) dan Junaida (Lambaian Terakhir-Lagu Melayu) mengabadikan namamu dalam syairnya.
KM Gurita adalah kapal feri yang tenggelam antara 5 - 6 mil laut dari Perairan Teluk Balohan, Kota Sabang, Aceh, yang terjadi pada tanggal 19 Januari 1996. KM Gurita merupakan alat transportasi utama yang menghubungkan Pelabuhan Malahayati, Banda Aceh dan Sabang.
Berdasarkan data yang dihimpun, 40 orang dinyatakan selamat, 54 orang
ditemukan meninggal, dan 284 orang dinyatakan hilang bersama-sama dengan
KM Gurita yang tidak berhasil di angkat dari dasar laut.
Kapal ini berangkat dari Pelabuhan Malahayati, Kruang Raya Aceh Besar, pukul 18.45 WIB menuju kota Sabang tanggal 19 Januari 1996. Menurut rencana, kapal tersebut seharusnya tiba di Pelabuhan Balohan pukul 21.00 WIB.
Kapal ini menurut penuturan saksi mata yang menyaksikan keberangkatan
kapal, melihat kapal memang kelebihan sekaligus sarat muatan, karena
kapal yang memiliki kapasitas 210 orang, ternyata disesaki hingga
mencapai 378 orang (282 orang warga Sabang, 200-an warga luar Sabang,
serta 16 Warga Negara Asing), itupun diperparah dengan muatan barang
yang mencapai 50 ton, meliputi 10 ton semen, 8 ton bahan bakar, 15 ton
tiang beton listrik, bahan sandang-pangan kebutuhan masyarakat Sabang
serta 12 kendaraan roda empat dan 16 roda dua. Kejadian itu terjadi tiga
hari sebelum pelaksanaan ibadah puasa, yaitu 22 Januari 1996.
Jum'at sore itu ramai sekali penumpang yang hendak berangkat ke Sabang
dengan Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Gurita yang bersandar di Dermaga
Pelabuhan Malahayati, Aceh Besar. Tidak ada yang aneh ketika sejumlah
penumpang bergerak memasuki kapal yang tergolong tua tersebut. Hanya
muatan yang penuh sesak dan seakan ini sudah menjadi kelaziman. Jadwal
pelayaran pada Jumat sore, 19 Januari 1996 itu bertambah padat karena
menyambut masuknya bulan suci Ramadhan yang jatuh pada 22 Januari 1996.
Dalam tradisi masyarakat Aceh, satu atau dua hari menjelang Ramadhan
adalah meugang, di mana pada saat-saat itulah semua anggota keluarga
sedapat mungkin bisa berkumpul. Saksi mata yang tak jadi berangkat
dengan KMP Gurita karena melihat kondisi kapal yang sarat penumpang
mengakui, pada saat meninggalkan Pelabuhan Malahayati, kapal yang naas
tersebut sarat penumpang dan barang.
Di kegelapan malam yang mencekam itu, KM Gurita mengalami gangguan cuaca
dan angin kencang dari arah timur. Terjadinya gangguan, ditambah muatan
yang melebihi kapasitas, mengakibatkan kapal tersebut menjadi oleng.
Nakhoda tak dapat menguasai kapal yang oleng ke kiri dan ke kanan. Saksi
mata mengatakan pada pukul 20:15 WIB, kapal penyeberangan itu masih
terlihat dari pelabuhan Balohan.
Sanak keluarga yang datang menjemput tak memperkirakan kapal tersebut
sedang mengalami gangguan dan tengah berjuang melawan badai. Lampu masih
terlihat jelas dari KM Gurita. Namun sekitar pukul 20:30 WIB, kapal
penyeberangan itu sudah tidak terlihat lagi. Sampai saat itu, belum ada
satu pun pejabat di pelabuhan Sabang yang menyatakan kapal mengalami
musibah. Pencarian terus dilakukan. hubungan dengan kapal terputus. Tak
ada tanda-tanda apa pun yang bisa diterima dari kapal feri itu.
Kepastian musibah baru diketahui empat jam setelah kejadian, yakni pada
saat salah seorang penduduk Pasiran, Kota Bawah Timur, Syahril (22
tahun) penumpang KM Gurita mampu berenang mengarungi lautan dengan ombak
yang ganas dan terdampar di Teluk Keuneukai. Kabar yang di bawa Syahril
itulah yang memastikan bahwa KM Gurita tenggelam di dekat teluk
Balohan. sejak saat itu, masyarakat di Pelabuhan Sabang, menjadi
gelisah. Sebagian masih tetap tabah menanti kedatangan keluarganya,
tetapi sebagian lagi mulai mencari daftar penumpang.
Dari penuturan Syahril yang mengatakan kapal tenggelam itulah,
disimpulkan bahwa hasil penyelidikan final Tim Pencari Fakta yang
bekerja selama sebulan menyatakan, jumlah penumpang yang ada di KM
Gurita ternyata 378 orang. Jumlah orang itu diperoleh setelah seluruh
data masuk dari masing-masing daerah. Dari jumlah itu, terbanyak berasal
dari Sabang, mencapai 282 orang dan 16 warga negara asing (WNA).
Sebenarnya, sejak beberapa tahun lalu masyarakat di Aceh, khususnya di pulau Sabang,
sudah memperkirakan bakal terjadi musibah atas KM Gurita. Perkiraan itu
setelah melihat kondisi feri penyeberangan tersebut yang sering
batuk-batuk dan tak layak untuk berlayar lagi. Namun, karena terbatasnya
armada angkutan, Ditjen Perhubungan Darat dalam hal ini PT ASDP
(Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan) terus mengoperasikan secara
reguler kapal tua yang dibuat tahun 1970 di galangan kapal Bina Simpaku,
Tokyo, Jepang tersebut.
Musibah yang menimpa KM Gurita tak terlepas dari kealpaan sejumlah
pejabat perhubungan di Aceh. Dari hasil penyelidikan yang dilakukan
Polda Aceh, ada enam pejabat di lingkungan Kantor Wilayah (Kanwil)
Perhubungan Aceh yang dinyatakan resmi sebagai tersangka kasus
tenggelamnya KMP Gurita. Berkas perkara keenam tersangka itu telah
dilimpahkan Polda Aceh Kejaksaan Tinggi dan terakhir, Kejati juga telah
menyerahkan berkas perkaranya ke pengadilan negeri di Banda Aceh. "Kita
sudah proses semua tersangka, tampaknya mereka dapat dikenakan
pasal-pasal yang memberatkan," ujar Kapolda. Keenam pejabat yang
dinyatakan sebagai tersangka tenggelamnya KMP Gurita itu adalah, AK
(Kepala Cabang PT ASDP Banda Aceh), Drs. Yus (Syahbandar), IH (Kepala
Bagian Operasi PT ASDP Banda Aceh) dan tiga pejabat di Bagian
Administrator Pelabuhan (Adpel) Malahayati yakni AS,KD dan BMA. Menurut
Kapolda waktu itu, walau mereka sudah dinyatakan sebagai tersangka,
namun belum dilakukan penahanan. karena diyakini, keenam tersangka tidak
akan melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti dan tidak pula
mengulangi perbuatannya, atas dasar itulah mereka tidak ditahan,” ujar
Kapolda. Keenam tersangka itu dipersalahkan melanggar pasal 263, 338,
359 KUHP serta undang-Undang Nomor 21/1992 tentang pelayaran. Pasal 263
KUHP dikenakan kepada para tersangka, karena para tersangka sengaja
memalsukan sejumlah dokumen mengenai pelayaran KMP Gurita, sehingga
terjadi musibah yang menewaskan ratusan orang itu. pada pasal 359 KUHP
disebutkan, karena kelalaian mereka menyebabkan hilangnya nyawa orang
lain. Sedangkan pasal 338 KUHP,karena perbuatan tersangka itu dianggap
sebagai pembunuhan, begitu juga Undang-Undang Nomor 21/1992 yang bisa
mengancam mereka dengan hukuman lebih dari lima tahun penjara. Semua
tuduhan itu mutlak diberlakukan kepada mereka. Dalam penyelidikan kasus
yang menarik perhatian masyarakat di tanah air itu, Polda Aceh telah
meminta sedikitnya keterangan 60 orang saksi, baik yang ada di Sabang
maupun di Banda Aceh dan kabupaten Aceh Besar. (SUMBER: Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedia Bebas)
PANGLIMA TINGGI YANG DISEGANI DAN DISENANGI
FAHRIZAL. MA
00.26.00
Aceh
,
Berita
,
Budaya
,
Cerita Ku
,
Pidie Jaya
,
Sejarah
Tidak ada komentar
:
Dalam sejarah perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sosok Teungku Abdullah Safi'i sangat dikenal. Ia adalah Panglima GAM yang kharismatik dan disegani. Lebih dari itu, Teungku Lah, begitu ia sering disapa adalah juga sosok yang ramah dan santun serta konsisten di garis perjuangan GAM.
Namun di balik sosoknya yang bersahaja dan dicintai rakyat, kisah perjuangan dan hidup Teungku Lah berakhir dengan tragis. Beliau gugur bersama istrinya Cut Fatimah dan dua pengawal setianya dalam
pertempuran dengan pasukan TNI di hutan Jim-jim, Pidie Jaya, 22 Januari
2002. Saat ini genap 16 tahun sang panglima meninggal dunia. Kepergiannya ditangisi rakyat dan GAM menyatakan berkabung selama 44 hari kala itu.
Dari berbagai sumber terkumpulkan berbagai pendapat tentang masa hidup sang Panglima Besar Tgk. Abdullah Syafi'i, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Panglima Gerakan Aceh Merdeka
Teungku Abdullah Syafi’i, lebih dikenal dengan nama Teungku Lah lahir di Bireuen, Aceh, 12 Oktober 1947. Ia syahid pada umur 54 tahun dalam sebuah pertempuran dengan TNI, dan merupakan tokoh pejuang GAM yang kharismatik dan disegani. Teungku Lah menjabat sebagai Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) saat gugur di medan tempur.
2. Sosok yang Ramah, Humanis dan Santun
Teungku Lah adalah sosok bersahaja, ramah dan humanis. Ia juga
dikenal sosok sederhana dan taat beribadah. Dia pun tidak bicara
sembarangan. Sifatnya yang santun membuat orang tidak pernah marah kepadanya dan bila ia berbicara berisi nasihat dan bijaksana.
3. Menyampaikan Wasiat Sebelum Syahid
Teungku Lah adalah sosok pejuang dan Panglima GAM yang amat disegani. Ia juga dikenal dengan sosok yang ikhlas berjuang di garis terdepan tentara GAM.
“…jika pada suatu hari nanti Anda mendengar berita bahwa saya
telah syahid, janganlah saudara merasa sedih dan patah semangat. Sebab
saya selalu bermunajat kepada Allah SWT agar mensyahidkan saya apabila
kemerdekaan Aceh telah sangat dekat. Saya tak ingin memperoleh kedudukan
apa pun apabila negeri ini (Aceh) merdeka…”
Itulah wasiat terakhir Panglima Gerakan Aceh Merdeka Abdullah Syafi’i
yang gugur dalam kontak senjata di kawasan perbukitan Jim-jim,
Kecamatan Bandarbaru, Kabupaten Pidie (sekarang Pidie Jaya) pada 22 Januari 2002. Wasiat yang dibuat sebulan sebelum ia syahid itu seolah sebuah pertanda bahwa perjuangannya akan berakhir.
4. Bukan Lulusan Militer GAM
Teungku Lah dikenal sangat santun dan bersahaja. Di mata aktivis GAM, ia adalah sosok yang humanis dan anti kekerasan. Tengku Lah memang tak pernah dibesarkan dalam dunia kekerasan. Ia juga tak pernah mendapat pendidikan tempur di Libya, seperti yang
diperoleh Muzakir Manaf yang kemudian menggantikannya sebagai Panglima GAM setelah Teungku Lah gugur. Pendidikan terakhirnya hanya di Madrasah Aliyah Negeri Peusangan. Itu
pun hanya sampai kelas tiga. Setelah itu, ia belajar ilmu agama di
sejumlah pesantren. Uniknya, masa muda Abdullah Syafi’i ternyata lebih banyak dihabiskan dalam dunia teater bersama grup Jeumpa.
5. Membuat Heboh karena Ketemu Sekretaris Kabinet dan Artis Cut Keke
Sosok Teungku Lah pernah membuat heboh Jakarta dan elite GAM di Swedia lantaran bisa ditemui Sekretaris Kabinet Bondan Gunawan di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan artis Cut Keke. Pertemuan itu berlangsung di tengah hutan dalam suasana yang penuh dengan keakraban. Bagi Teungku Lah pertemuan itu dianggap sebagai pertemuan silaturahmi.
6. Pernah Diberitakan Sekarat Terkena Tembakan
TNI pernah mengklaim bahwa telah menembak Teungku Lah hingga sekarat. Pada Maret 2000, Teungku Lah dengan santai malah mengundang reporter
SCTV Jufri Alkatiri dan Yahdi Jamhur untuk sebuah wawancara di tengah hutan Pasee. Dalam kesempatan itu, Tengku Lah juga mengundang wartawan Kompas Maruli
Tobing untuk melihat kondisinya yang saat itu ternyata dalam kondisi
sehat walafiat.
7. Syahid dalam Perang Bersama Istri yang Sedang Mengandung 6 Bulan
Akhir perjuangan Teungku Lah begitu dramatis. Ia syahid bersama Cut Fatimah, istrinya yang sedang mengandung enam bulan dan dua pengawalnya. Teungku Abdullah Syafi'i meninggal setelah tertembak dalam sebuah pertempuran di hutan Jim-jim, Pidie Jaya, 22 Januari 2002. Namun, jenazahnya tak langsung dievakuasi. Untuk memastikan yang
tertembak adalah orang nomor satu dalam tubuh militer GAM, Panglima
Komando Operasi Pemulihan Keamanan Brigjen TNI Djali Yusuf waktu itu
berangkat ke lokasi menggunakan helikopter.Keesokan harinya, 23 Januari 2002, barulah dipastikan yang tertembak itu adalah Teungku Abdullah Syafi'i. Selain itu juga ada dua pengawal setianya yang ikut gugur dalam pertempuran.
8. Kepergiannya Ditangisi Rakyat
Pada malam menjelang subuh 25 Januari 2002, isak tangis dan selawat bergema di Desa Cubo, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya.Jenazah Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) Teungku Abdullah
Syafi'i bersama istrinya Cut Fatimah dan dua pengawal setianya Teungku
Daud Hasyim dan Teungku Muhammad Ishak dimakamkan. Mereka gugur akibat kontak senjata antara GAM dan TNI tiga hari
sebelumnya, di Desa Sarah Panyang Jim-jim, sekitar empat kilometer dari
Blang Sukon. Masyarakat mengenang Abdullah Syafi’i sebagai sosok ramah dan bersahaja.
Tiga warga desa sempat pingsan karena tak kuasa menahan haru.
9. Makamnya Sering Didatangi Peziarah
Setelah damai Aceh bersemi pada 15 Agustus 2005, makam Teungku Lah ramai dikunjungi peziarah. Mulai dari masyarakat biasa hingga mantan petinggi GAM. Bahkan, Wali Nanggroe Tengku Hasan Tiro pun sempat menziarahinya saat kembali ke Aceh pada Oktober 2008. Makam Tengku Lah dibangun dengan sederhana dan hanya dikelilingi teralis
besi. Abdullah Syafi'i dimakamkan di Cubo, Kecamatan Bandar Baru, Pidie
Jaya pada 25 Januari 2002.
10. Sering Memasak Untuk Pasukannya
Pada satu waktu di bulan puasa Januari 2002, Teungku Lah bangun memasak nasi untuk sahur. Sementara pasukannya sedang terlelap. Ketika masakan telah siap, barulah Teungku Lah membangunkan pasukannya untuk sahur. Saat dalam bergerilya menjelajah hutan bersama pasukannya, terkadang
didapati hidupnya sekarat dan serba kekurangan dan ketiadaan stok
makanan. Namun Teungku Lah tetap lebih memilih bersusah payah mencari sendiri apa yang bisa dimakan tanpa menyusahkan anak buahnya.
11. Kalimat Terakhir saat Ajal Menjemput
“Nyoe ka troh nyang lon lakee, ka troh watee nyang lon preh-preh
(kini sudah tiba waktunya yang saya tunggu-tunggu),” kata Teungku Lah
kepada pengawalnya Jalaluddin setelah ia tertembak dalam pertempuran
bersama istrinya Cut Fatimah. Kalimat itu mengiringi kepergian panglima yang sangat dihormati dan kharismatik itu syahid di medan pertempuran.
16 tahun sudah Sang PANGLIMA pergi, tidak ada yang dapat menggantikan cara Panglima memimpin, walaupun jabatan Panglima diduduki oleh pengganti. Semoga Amal Ibadah Panglima selalu disisi Allah dan menjadi penghuni Surga. Amin........Ya Rabbal Alamin..................
ADVERTISEMENT
Pendidikan terakhirnya hanya di Madrasah Aliyah Negeri Peusangan. Itu
pun hanya sampai kelas tiga. Setelah itu, ia belajar ilmu agama di
sejumlah pesantren.Uniknya, masa muda Abdullah Syafi’i ternyata lebih banyak dihabiskan dalam dunia teater bersama grup Jeumpa.
16 April 2016
ANTARA ACEH DAN BELANDA, SUDAHKAH BERAKHIR?
Hubungan antara Belanda dengan Aceh sudahkah berakhir? Pertanyaan itu selalu teringat diasaat teringat dengan masa penjajahan belanda ke Indonesia. Sebagai masyarakat Aceh, itu patut saya sanggah mengingat para pendahulu masyarakat Aceh saat itu memperjuangan tanah Aceh dengan pertumpahan darah dan mengorbankan jiwa dan harata bendanya demi kemakmuran anak cucunya dimasa sekarang.
Rabu, 26 Maret 1873, di atas kapal Citadel van Antwerpen, Kerjaan Belanda menyatakan maklumat perang dengan Kerajaan Aceh. Setalah itu serangan besar-besaran dilakukan ke daratan Aceh. Belanda gagal total, Panglima Perang Belanda, JHR Kohler tewas. Berita yang berkaitan dengan Aceh dan Belanda selalu saya baca, baik melalui media online maupun buku-buku yang pernah dikeluarkan di Indonesia. Berikut ini adalah beberapa dari sekian banyak hasil bacaan saya dari berbagai sumber yang saya kumpulkan.
26 Maret 1873 : Belanda Nyatakan Perang Dengan Aceh
Perang
Aceh – Belanda atau disingkat dengan Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan
Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada januari
1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut. Belanda menyatakan Perang terhada Aceh setelah menerima surat balasan dari Sultan Kerajaan Aceh Darussalam. Sultan memutuskan bahwa Aceh tidak akan tunduk kepada ancaman Belanda
dan setiap serangan akan dibalas dengan serangan pula. Segenap lapisan
rakyat diserukan untuk ikut serta dalam perjuangan mempertahankan
kehormatan dan kedaulatan kerajaan Aceh dari setiap serangan dan ancaman
musuh. Sultan bertitah: “Udep merdeka, mate syahid. Langet sihet awan
peutimang, bumoe reunggang ujeuen peurata. Salah narit peudeueng
peuteupat, salah seunambat teupuro dumna.” (Hidup merdeka, mati syahid. Lengit miring awan meluruskan, bumi retak hujan ratakan/menutupi retak. Salah basaha pedang yang luruskan, salah tutup tumpah semua.). Itulah wasiat sang Sultan kepada rakyat Aceh masa itu.
Pada
tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan
tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 5
April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Jendral Mayor Johan Harmen
Rudolf Köhler (J.H.R. Köler), dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler
saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.
Akibat
dari Perjanjian Siak 1858, Sultan Ismail menyerahkan wilayah Deli, Langkat,
Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan
Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh. Belanda melanggar perjanjian
Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London
adalah Belanda dan Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas
kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura.
Keduanya mengakui kedaulatan Aceh. Aceh menuduh Belanda tidak menepati
janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan
oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.
Dengan
dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh
menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan. Ditandatanganinya
Perjanjian London 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania
memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda
harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania
bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada
Britania.
Akibat
perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul
Amerika Serikat, Kerajaan Italia dan Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Aceh
juga mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871. Akibat upaya
diplomatik Aceh tersebut, Belanda menjadikannya sebagai alasan untuk menyerang
Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2
kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah
tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud
menolak untuk memberikan keterangan.
Perang
Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Mahmud Syah
melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat
dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh
hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut
kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan.
Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng
Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan
beberapa wilayah lain.
Perang
Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten.
Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan
sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten
mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan
Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang
dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini
adalah perang total dan frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan,
meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan
tempat-tempat lain.
Perang
ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi
sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903.
Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima
Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak
Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku
Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
Perang
keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan
perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan
Kesultanan.
Taktik
perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan maréchaussée
yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah
mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk
mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik
berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota
keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan
Tengku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim.
Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai.
Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat
meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut
Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya
Panglima Polim meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada Desember
1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang
menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.
Taktik
selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di
bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz.
Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2.922 orang dibunuhnya,
yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.
Taktik
terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan
perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap dan
diasingkan ke Sumedang.
15 April 2016
SEJARAH YANG HILANG, LEH HO....KA
Daerah Aceh merupakan Modal utama
dalam perjuangan kemerdekaann Republik Indonesia, karena tidak pernah dikuasai
oleh musuh dan masih utuh sepenuhnya. Aceh merupakan juga daerah yang selalu
menyumbang atau selalu memberi bantuan kepada Republik Indonesia; baik berupa
senjata, makanan, dan pakaian untuk membantu perjuangan dalam menegakkan
kemerdekaan. Unsur ajaran Islam berupa semangat jihad fisabilillah atau Perang
di Jalan Allah sangat berperan dalam perang kemerdekaan Indonesia di Aceh.
Hikayat Prang Sabi (Hikayat Perang Sabil), yang mendorong rakyat Aceh melawan
Belanda pada Zaman Perang Belanda dahulu, juga bergema kembali pada era perang
kemerdekaan Indonesia.
Tanggal
17 Agustus 1945 Republik Indonesia di proklamirkan kemerdekaannya oleh Soekarno
Hatta. Pernyataan kemerdekaan itu tidak langsung diterima baik oleh semua
pihak, terutama pihak Belanda dengan gigih berusaha untuk kembali menguasai
seluruh kepulauan Indonesia. Pertentangan pihak Belanda dengan Indonesia sampai
menjelang tahun 1950. mereka menjalankan politik adu domba dan pecah belah
diantara rakyat Indonesia dengan maksud dapat menduduki kembali seluruh
kepulauan Indonesai.
Dalam
upaya menjajah Indonesia kembali, Belanda menyiarkan berita-berita melalui surat
kabar dan radio, bahwa kedatangan mereka ke Indonesia bukan untuk berperang dan
menjajah, tetapi menjaga keamanan yang diakibatkan oleh perang Dunia II. Selain
melalui siaran propaganda, pihak Belanda juga melakukan dua kali agresi
bersenjata terhadap Indonesia, yaitu agresi pertama tahun 1947 dan kedua tahun
1948. Akibat serangan itu dalam waktu relatif singkat hampir seluruh
wilayah Indonesia dapat mereka duduki kembali.
Daerah
yang belum mereka kuasai satu-satunya adalah Aceh, sehingga Republik Indonesia
yang berusia muda itu masih mempunyai modal yang sangat kuat untuk
mempertahankan kedaulatan kemerdekaannya. Belanda berkali-kali berusaha
menghancurkan perlawanan rakyat Indonesia di daerah Aceh dengan pendaratan
pasukannya yang selalu dapat digagalkan. Beberapa kali Belanda melancarkan
serangan udara terutama terhadap komando Artileri dilapangan udara Lhok Nga dan
beberapa kota lainnya, seperti Ulee Lheue, Sigli, Lhoksumawe, Langsa, Meulaboh
dan Tapak Tuan, tetapi dapat di balas rakyat Indonesia di daerah Aceh dengan
menggunakan meriam-meriam anti pesawat terbang.
Pasukan
marinir Belanda juga selalu berusaha melakukan percobaan pendaratan pada
tempat-tempat strategis dan pelabuhan-pelabuhan sepanjang pantai Aceh, seperti
Ulee Lheue, Ujong Batee, Krueng Raya, Sigli, Ulee Kareueng, Lhoksumawe, Langsa,
Meulaboh, Tapak Tuan dan lain-lain. Armada-armada perang Belanda yang sering
beroperasi pada waktu itu, antara lain Jan Van Bukker, Ban Jan Van Gallaen.
Oleh
karena kuatnya pertahanan pantai yang dilengkapi dengan meriam-meriam
pantai hasil rampasan dari tentara Jepang serta dilandasi pula oleh semangat
rakyat yang bergelora, maka wilayah Aceh terus dapat dipertahankan
kemerdekaannya dengan selalu mengagalkan rencana pendaratan Belanda. Untuk
mengetahui situasi di darat, Belanda sering menangkap para nelayan dengan
menyeret mereka ke kapal. Rencana Belanda untuk menduduki daerah Aceh tidak
pernah terlaksana sampai saat mereka mengakui kemerdekaan Indonesia pada akhir
tahun 1949.
GELORA KEMERDEKAAN DI ACEH
Berita
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tidak segera diketahui di Aceh.
Berita baru diketahui secara resmi oleh rakyat Aceh pada tanggal 29 Agustus
1945 setelah kembalinya Mr. T.M. Hasan dan Dr. M. Amir dari Jakarta.
Kedua orang ini mewakili pusat Republik Indonesia untuk seluruh pulau Sumatera.
Akan
tetapi desa-desus mengenai berita tersebut jauh sebelumnya telah didengar oleh
beberapa orang tokoh Aceh. Mereka belum berani mengumumkannya kepada
masyarakat, karena masih merasa takut pada kekejaman tentera Jepang..
Setelah
diketahui secara resmi tentang kekalahan Jepang dan kemerdekaan Indonesia, atas
keberanian para pemuda Aceh terus mengadakan kampaye kepada rakyat untuk
menyiarkan berita tersebut. Melalui usaha para pemuda pula yang dengan
beraninya mencetak berita-berita itu pada percetakan “Semangat Merdeka” serta
kemudian disebarkan kepada masyarakat dengan sangat hati-hati, karena pada masa
itu Jepang masih menguasai semua instansi pemerintahan.
Para
pemuda melaksanakan pengambilan beberapa instansi pemerintahan Jepang seperti
Kantor Percetakan “ Atjeh Shimbun”, Pemancar Radio Jepang “Hodoka” Kantor
Berita Jepang “Domei” dan instansi-instansi lainnya; yang diperlukan bagi
memperlancar pembentukan pemerintahan Republik Indonesia. Surat kabar “Semangat
Merdeka” diterbitkan 14 Oktober 1945 oleh para pemuda untuk menyebarluaskan
berita-berita proklamasi dengan cara menempel di tembok-tembok, di rumah-rumah,
di toko-toko, di kantor dan sebagainya.
Pihak
Sekutu yang menang perang terhadap Jepang tidak berapa lama kemudian mendarat
di Indonesia dengan membonceng tentara Belanda dan NICA (Netherlands Indies
Civil Administation) di belakangnya. Sebelum melakukan pendaratan, Jenderal Sir
Philip Christison yang memimpin pasukan Sekutu pada tanggal 25 September 1945
menyiarkan dari Singapura melalui radio dan wawancara Pers bahwa tentara Sekutu
yang mendarat di Jawa dan Sumatera tidak membawa serdadu-serdadu Belanda dan
NICA. Bendera merah putih boleh di kibarkan terus dan organisasi di bawah pimpinan
Soekarno tidak dilucuti senjatanya.
Jenderal
Sir Philip Christison menegaskan pula, bahwa hanya ada tiga tugas dari
kedatangan tentara Sekutu di Indonesia, yaitu melucuti senjata Jepang,
mengembalikan orang tawanan dan tahanan Jepang; serta menjaga keamanan.
Propaganda yang disiarkan oleh Christison ini berlainan sekali dengan
kenyataannya. Setelah tentara Sekutu mendarat di Indonesia.mereka mengadakan
tindakan-tindakan seperti merampas toko-toko, kantor-kantor pemerintah. Sekutu
memperkuat pula kedudukannya di beberapa kota di Indonesia, serta melakukan
kekacauan di kota-kota yang menimbulkan insiden-insiden kecil yang kemudian
berubah menjadi pertempuran secara besar-besaran.
Daerah
Aceh yang merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia, agak berbeda
dari daerah-daerah lainnya dalam mempertahankan kedaulatan negara Indonesia..
Selama berkecamuknya perang kemerdekaan, Aceh tetap dapat mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia secara keseluruhan.
Aceh
di juluki sebagai Daerah Modal, bukan saja dari kekuatan-kekuatan rakyat Aceh
mempertahankan tanah air, tetapi juga karena di Aceh terdapat alat komunikasi
seperti pers dan radio. Dengan adanya pers dan radio mempermudah hubungan
antara pemerintah daerah-daerah lain serta antara pemerintah Aceh dengan
pemerintah pusat.
Daerah
Aceh memang tidak berhasil di kuasai musuh, namun bukan berarti daerah ini
tidak pernah di serang oleh tentara Belanda. Mereka sering melakukan serangan
baik melalui udara maupun laut seperti didaerah Lhok Nga, Ujong Batee, Ulee
Lheue, Lhoksumawe dan beberapa tempat lainya. Namun demikian serangan-serangan
Belanda itu selalu dapat dipatahkan oleh angkatan bersenjata daerah Aceh.
Ketidakberhasilan
Belanda menguasai Aceh, menyebabkan Aceh menjadi aman dan pemerintah berjalan
lancar. Hal ini memberikan kesempatan kepada Aceh untuk memperbaiki dan
membangun saluran komunikasi seperti pers dan radio, karena itulah melalui
pers dan radio pemerintah Aceh dapat memberi bantuan yang
pertama-tama ke daerah-daerah lain yang sedang menghadapi tentara Belanda.
Demi
kelancaran perhubungan Aceh dengan daerah-daerah lain di Indonesia, pemerintah
daerah Aceh pertama sekali menggunakan media massa Post Telegram Telepon (PTT).
Post Telegram Telepon sudah dikenal di Aceh semasa Belanda berkuasa di Aceh.
Post Telegram Telepon mempunyai peranan dalam masa perang kemerdekaan Republik
Indonesia, karena melalui media ini dapat menyampaikan suatu berita dan
menerima berita secara praktis tanpa ada alat perantara.
Keberadaan
telegram tersebut membuat daerah Aceh lebih percaya diri dalam rangka membantu
bangsanya yang sedang berjuang mati-matian mmpertahankan kemerdekaan Republikm
Indonesia. Kemudian pemrintah daerah Aceh mengirim pasukan bersenjata Aceh
untuk memperkuat perlawanan terhadap Belanda yang penting sekali
artinya di daerah lainnya.
Pemancar
radio Kutaraja pada mulanya sangat sederhana bentuknya dan keadaannya. Namun
demikian peranannya dalam mendorong dan membangkitkan semangat juang rakyat
melawan pemerintah Belanda sangat penting sekali artinya di masa revolusi
tersebut.
Ketika
Belanda melancarkan agresi yang pertama ke seluruh pelosok tanah air Indonesia
dan pada hari itu juga yaitu tanggal 21 Juli 1947, lapangan terbang Lhok Nga
mendapat serangan dari Angkatan Udara dan Angkatan Laut, yang kemudian di ikuti
dengan beberapa daerah pantai lainnya. Namun Belanda tetap tidak
berhasil menguasai Aceh, sedangkan daerah-daerah diluar Aceh hampir keseluruhan
dapat dikuasai mereka. Ketika itu peranan radio Kutaraja semakin bertambah
penting kedudukannya sebagai alat komunikasi.
Disamping
radio Kutaraja, angkatan perang atau Gajah Devinisi X atas nama pemerintah
daerah Aceh; walau dalam keadaan kritis ini berhasil pula mendirikan sebuah
pemancar lagi yang kuat jangkauan siarannya, yaitu di kenal dengan nama Radio
Rimba Raya. Melalui radio Kutaraja dan Radio Rimba Raya inilah secara
bersama-sama amat berperan dalam rangka mengorbarkan semangat kepada para
prajurit di kantong-kantong gerilya yang sedang mempertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia.
Radio
Kutaraja yang pada umumya memberi semangat kepada para pejuang yang berada
digaris depan, maupun kepada masyarakat untuk memberi sumbangan untuk
pembiayaan perang di sekitar daerah Aceh serta daerah-daerah lain sejauh
jangkauan siarnya; dapat di terima dalam wilayah Indonesia.
Dalam
suatu revolusi nasional atau dikenal dengan kemerdekaan Indonesia, bahwa faktor
ekonomi juga sangat menentukan berhasil atau tidaknya revolusi yang sedang
berlangsung. Peranan pers dan radio dalam perang kemerdekaan dibidang ekonomi
adalah menyiarkan tentang kebutuhan para pejuang, agar masyarakat dapat
membantunya seperti memberi sumbangan makanan, pikiran dan persediaan
perlengkapan lainnya.
Pada
bulan Juni 1948 Presiden Soekarno dalam kunjungannya ke Aceh, mengundang
tokoh-tokoh pejuang, para pengusaha, dan beberapa pemuda untuk berkumpul di
Hotel Atjeh. Presiden meminta kepada masyarakat Aceh untuk menyumbangkan dua
buah pesawat yang sangat di butuhkan untuk kelancaran perjuangan. Dengan
bantuan para saudagar, pemerintah daerah Aceh telah dapat membeli dua buah
pesawat pada akhir bulan Oktober 1948 dengan nomor register RI-001. pesawat itu
kemudian oleh Presiden Soekarno diberi nama “Seulawah RI-001.” Sementara
pesawat satu lagi telah di hadiahkan kepada pemerintah Birma, sebagai tanda
terima kasih atas semua fasilitas yang di berikan untuk perwakilan Garuda
beroperasi di Birma.
PERAN ACEH DALAM PERANG KEMERDEKAAN RI
PERAN ACEH DALAM PERANG KEMERDEKAAN RI
Perjuangan Rakyat Aceh di Medan Area. Dalam sejarah
perjuangan kemerdekaan di Aceh pasukan angkatan perang Aceh tidak hanya
berjuang di Aceh saja akan tetapi juga terus-menerus dikirim ke Medan atau pun
ke tempat-tempat lain di Sumatera Timur(sekarang:Sumatera Utara). Di sana pasukan Aceh berjuang di
Medan Area dan berbagai medan pertumpuran yang hendak dicaplok musuh.
Menghadapi tentara Belanda yang bersenjata mutakhir, panglima tentara RI Mayor
Jenderal R. Suharjo Harjowardoyo menumpahkan harapan besar kepada pasukan Aceh.
Dalam
sebuah telegramnya, panglima meminta kepada pemimpin rakyat Aceh supaya
menyediakan terus kekuatan dari Aceh ke Medan. Pengembalian kota Medan terletak
di tangan saudara-saudara segenap penduduk Aceh.
Akibat
agresi pertama Belanda ini menyebabkan negara republik Indonesia dihadapkan
kepada suatu tantangan besar. Dalam situasi yang krisis itu wakil Presiden
Muhammad Hatta mengangkat Tgk. Muhammad Daud Breu-eh menjadi gubernur militer
untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo dengan pangkat Jenderal Mayor. Akibat
agresi Belanda pertama banyak pasukan dan rakyat Sumatera Timur mengungsi ke
Aceh yang masih aman dari tekanan pihak Belanda.
Pada
masa Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh menjadi Gubernur Militer Daerah Aceh,
Langakat dan Tanah Karo; terjadilah agresi Belanda kedua. Pada hari pertama
agresi tersebut tanggal 19 Desember 1948 Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta
dapat di duduki oleh Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Prsiden Muhammad
Hatta beserta beberapa menteri dan beberapa tokoh lainnya dapat ditawan oleh
Belanda. Tanggal 19 Desember 1948 pemerintah memberikan kuasa kepada Mr.
Syarifuddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukit Tinggi untuk
membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang lebih dikenal dengan PDRI,
sedangkan di Jawa dibentuk Komisariat Pemerintahan yang terdiri dari Mr.
Sukiman. Mr. Susanto Tirtiprodjo.
Dengan
agresi Belanda yang kedua dapat dilakatakan, bahwa hampir seluruh wilayah di
Sumatera telah berada di bawah kekuasaan Belanda. Satu-satunya daerah yang
masih utuh belum dimasuki Belanda adalah Daerah Aceh.
Untuk
mengahadapi kekuatan Belanda di Sumatera Timur(Sumatera Utara) dan didasarkan
kepada pertimbangan, bahwa lebih baik pasukan Aceh menyerang Belanda dari
pada bertahan di Aceh, Laskar berjumlah 60 orang yang diperbantukan pada
batalion TRI Devisi juga dikirimkan ke kesatuan laskar Aceh dari Devisi Tgk.
Chik Di Tiro, Divisi Direncong, Devisi Tgk. Chik Paya Bakong dan Tentara
Pelajar. Oleh karena semakin hari semakin banyak yang datang ke Medan Area,
maka terpaksa dibentuk suatu badan koordinasi yang disebut dengan RIMA (Resimen
Istimewa Medan Area) yang terdiri dari 4 batalion yaitu batalion Wiji Alfisah,
batalion Altileri Devisi Rencong, Devisi Tgk. Chik Di Tiro, dan Devisi Tgk.
Chik Paya Bakong.
Tugas
pertama dari pasukan tersebut adalah untuk merebut kembali daerah yang diduduki
Belanda. Namun hal ini kurang berhasil karena kurang terkoordinirnya
pasukan bersenjata Republik Indonesia, bahkan sering terjadi
pasukan komando itu tidak dapat menjalin kerjasama, sehingga tidak dapat
menggerakkan suatu serangan yang serentak terhadap Belanda.
Walaupun
tugas utamanya tidak berhasil, namun untuk menghalau gerak maju pasukan Belanda
ke Aceh cukup berhasil. Ini dapat dilihat karena tidak ada satu daerah pun di
Aceh dapat di duduki kembali oleh Belanda.
SUMBANGAN RAKYAT ACEH
Daerah
Aceh merupakan daerah yang tidak pernah dikuasai oleh musuh dan merupakan modal
utama Republik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaannya. Pernyataan ini
didukung kenyataan, bahwa satu-satunya daerah dalam wilayah Republik
Indonesia pada waktu itu yang tidak pernah diduduki oleh Belanda adalah
daerah Aceh. Hal ini pulalah yang dijadikan modal utama utusan Indonesia dalam
Konferensi Meja Bundar (KBM) di Den Haag itu, bahwa Republik Indonesia
masih memiliki wilayah bebas penguasaan Belanda.
Selain
itu ucapan Presiden diatas berhubungan dengan berbagai sumbangan yang telah
diberikan rakyat Aceh kepada perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaannya, seperti sumbangan sebuah pesawat. Mengenai antusias rakyat Aceh
dalam membantu pembelian pesawat udara ini di ceritakan oleh beberapa informan,
bahwa rakyat begitu rela pintu rumah mereka digedor di waktu malam hari untuk
menyumbangi sebagian dari emas atau barang lainnya demi untuk negara.
Pesawat
yang dibeli dengan sumbangan rakyat Aceh ini diberi nama “Seulawah” yaitu nama
sebuah gunung yang terdapat di perbatasan Aceh Besar dan Kabupaten Pidie, dan
pesawat ini diberi nimor RI-001.
Bahwa
uang yang disumbangkan rakyat Aceh untuk membeli pesawat udara jenis Dakota
tersebut cukup untuk dua pesawat. Namun sebuah diantaranya masih merupakan
teka-teki, karena menurut kenyataan yang ada hanya sebuah pesawat (RI-001).
Menurut A. Hasjmy, bahwa penyelewengan ini dilakukan di Singapura, tetapi
pelakunya belum diketahui. Namun sebuah sumber lain menyebutkan bahwa pesawat
yang satu lagi telah dihadiahkan kepada pemerintah Birma, sebagai tanda terima
kasih atas semua fasilitas yang diberikan perwakilan Garuda beroperasi di
Birma.
Pada
mulanya pesawat ini merupakan jajaran dalam angkatan udara Republik Indonesia
dan rute luar neger,i yaitu Birma dan Calkutta. Sedangkan fungsinya didalam
negeri selain dapat menjembatani pulau Sumatera dan Jawa; juga untuk menerobos
blokade Belanda menerbangkan tokoh-tokoh politik bangsa Indonesia.
Kemudian pada tanggal 26 Januari 1949 RI-001 menjadi pesawat komersil yang dicarter oleh Indonesia Airways, yang kemudian dikenal dengan Garuda Indonesia Airways. Adapun menagernya yang pertama adalah Wiweko Supeno.
Kemudian pada tanggal 26 Januari 1949 RI-001 menjadi pesawat komersil yang dicarter oleh Indonesia Airways, yang kemudian dikenal dengan Garuda Indonesia Airways. Adapun menagernya yang pertama adalah Wiweko Supeno.
Selain
telah menyumbang pesawat udara untuk kepentingan perjuangan bangsa Indonesia
dalam mempertahankan kemerdekaannya, rakyat Aceh juga menyumbang kepada
pemerintah Republik Indonesia berupa senjata, makanan, pakaian dan lain-lain
untuk membantu perjuangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan di Sumatera
Timur. Pada tahun 1948 rakyat Aceh telah mengirimkan ke daerah Medan Area
sebanyak 72 ekor kerbau.
Peranan Radio Rimba Raya
Salah
satu modal perjuangan Bangsa Indonesia pada masa perang kemerdekaan adalah alat
komunikasi, yaitu Radio Rimba Raya. Sejak masa awal perang kemerdekaan 1946
daerah Aceh telah memiliki sebuah pemancar radio yang ditempatkan di Kutaraja.
Dan dalam perkembangan selanjutnya dalam tahun1947 ditambah sebuah pemancar
lagi yang ditempatkan di Aceh Tengah dan dikenal dengan nama Radio Rimba Raya.
Kedua pemancar ini telah memegang peranan cukup besar pada masa perang
kemerdekaan, sehingga sarana ini dapat dikatakan Modal Perjuangan Bangsa
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.
Mengenai
Radio Republik Indonisia Kutaraja, pertama kali mengumandang di udara
pada tanggal 11 Mei 1947 dengan kekuatan 25 watt melalui gelombang 68 meter.
Jangkauan siarannya hanya sekitar Kutaraja, namun dalam perkembangannya tahun
1947 radio ini berhasil di kembangkan menjadi 100 watt, yang jangkauan
siarannya sampai ke kota Medan dan Bukti Tinggi. Selanjutnya pada bulan
April 1948 radio ini di kembangkan lagi hingga menjadi 325 watt dan mengudara
melalui gelombang 33,5 meter dan penyiarannya sudah dapat di tangkap di luar
negeri. Ketika Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
bersidang membicarakan masalah pertikaian antara Republik Indonesia dengan
Belanda, Radio Republik Indonesia Kuta Raja ini berulang-ulang mengadakan
siaran dengan menyiarkan hasrat/keinginan dan tekad bangsa Indonesia
dalam mempertahankan kemerdekaannya.
Mengenai
Radio Rimba Raya berbeda dengan Radio Republik Indonsia Kutaraja. Pemancar
Radio Rimba Raya ini mempunyai kekuatan cukup besar yaitu 1 kilowatt yang
dikelola oleh Devisi X TNI yang dipimpin Mayor John Lie. Pemancar ini pertama
sekali dipasang di Krueng Simpo sekitar 20 km dari kota Takengon, kemudian atas
perintah Gubernur Militer radio ini dipindahkan ke Cot Gu (Kutaraja). Lalu
dipindahkan lagi ke Aceh Tengah karena para pemimpin memperkirakan, bahwa pada
gilirannya Belanda akan menyerbu ke Aceh. Radio ini di tempatkan di sebuah
gunung yang dikenal dengan Burmi Bius yang letaknya 10 km dibagian barat kota
Takengon.
Dalam
waktu singkat sesuai dengan suasana yang mencekam dan kebutuhan mendesak,
pemancar Radio Rimba Raya selesai di bangun yang dikerjakan oleh W. Schultz
seorang warga negara RI keturunan Indonesia-Jerman bersama rekannya. Maka
semenjak itulah ketika pemancar-pemancar utama di berbagai kota tidak mengudara
lagi; karena dikuasai Belanda, maka Radio Rimba Raya mengisi kekosongan
ini dengan hasil yang baik sekali.
Ketika
radio Batavia dan Radio Hilversum memberitakan bahwa Republik Indonesia
sudah tidak ada lagi, karena setelah Yogyakarta dapat direbut disusul pula
dengan jatuhnya daerah-daerah kekuasaan Republik Indenesia lainnya, Radio Rimba
Raya membantah dengan tegas, yang menandaskan “Bahwa Republik Indonesia masih
ada, Tentara Republik Indonesia masih ada, Pemerintah Republik Indonesia masih
ada, dan wilayah Republik Indonesia masih ada.” Dan disini, adalah Aceh, salah
satu wilayah Republik Indonesia yang masih utuh sepenuhnya”,kata siaran radio
tersebut. Berita ini dikutip oleh All India Radio; kemudian menyiarkan lagi,
sehingga dunia pun mengetahui kebohongan Belanda.
Sumber: Dari Berbagai Sumber
Langganan:
Postingan
(
Atom
)