-->

Gampong Lueng Bimba Kemukiman Kuta Simpang - PIDIE JAYA

Tampilkan postingan dengan label Cerita Ku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Ku. Tampilkan semua postingan

16 Mei 2010

MAMPUKAH KITA MENCINTAI ISTRI KITA TANPA SYARAT ?

Tidak ada komentar :
sebuah perenungan Buat para suami baca ya….. istri & calon istri juga boleh.. Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi, usia yg sudahsenjabahkan sudah mendekati malam,Pak Suyatno 58 tahun kesehariannya diisidengan merawat istrinya yang sakit istrinya juga sudah tua. merekamenikah sudahlebih 32 tahun. Mereka dikarunia 4 orang anak disinilah awal cobaan menerpa,setelahistrinya melahirkan anak ke empat tiba2 kakinya lumpuh dan tidak bisadigerakkan itu terjadi selama 2 tahun, menginjak tahun ke tigaseluruhtubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang lidahnyapunsudahtidak bisa digerakkan lagi. Setiap hari pak suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi,danmengangkat istrinya keatas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja dialetakkan istrinya didepan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian. Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinyatersenyum, untunglah tempat usaha pak suyatno tidak begitu jauh darirumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makansiang. sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian danselepasmaghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa2sajayg dia alami seharian. Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi,PakSuyatno sudah cukup senang bahkan dia selalu menggoda istrinya setiapberangkat tidur. Rutinitas ini dilakukan Pak Suyatno lebih kurang 25 tahun, dengansabardia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke empat buah hatimereka,sekarang anak2 mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yg masih kuliah. Pada suatu hari ke empat anak suyatno berkumpul dirumah orang tuamerekasambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah sudahtinggaldengan keluarga masing2 dan Pak Suyatno memutuskan ibu mereka dia ygmerawat, yang dia inginkan hanya satu semua anaknya berhasil. Dengan kalimat yg cukup hati2 anak yg sulung berkata ” Pak kami inginsekali merawat ibu semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibutidak adasedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak……. ..bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu” . dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata2nya “sudah yg keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi,kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tuabapakdengan berkorban seperti ini kami sudah tidak tega melihat bapak,kami janji kamiakan merawat ibu sebaik-baik secara bergantian”. Pak Suyatno menjawab hal yg sama sekali tidak diduga anak2 mereka.”Anak2ku ……… Jikalau perkawinan & hidup didunia ini hanya untuknafsu,mungkin bapak akan menikah….. .tapi ketahuilah dengan adanyaibu kalian disampingku itu sudah lebih dari cukup, dia telahmelahirkankalian.. sejenak kerongkongannya tersekat,… kalian yg selalukurindukanhadir didunia ini dengan penuh cinta yg tidak satupun dapatmenghargaidengan apapun. coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkankeadaanyaseperti Ini. Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagiameninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang, kalian menginginkanbapak ygmasih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimanadenganibumu yg masih sakit.” Sejenak meledaklah tangis anak2 pak suyatno merekapun melihatbutiran2kecil jatuh dipelupuk mata ibu Suyatno.. dengan pilu ditatapnya matasuami yg sangatdicintainya itu.. Sampailah akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salahsatu stasiun TVswasta untuk menjadi narasumber dan merekapun mengajukan pertanyaankepadaSuyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat Istrinya ygsudahtidak bisa apa2.. disaat itulah meledak tangis beliau dengan tamu yghadirdi studio kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan harudisitulahPak Suyatno bercerita. “Jika manusia didunia ini mengagungkan sebuah cinta dalamperkawinannya,tetapi tidak mau memberi ( memberi waktu, tenaga, pikiran,perhatian )adalah kesia-siaan. Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidupsaya,dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya mencintai sayadengan hati dan bathinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4orang anak yglucu2.. Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta kita bersama..dan itumerupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untukmencintainya apa adanya. sehatpun belum tentu saya mencaripenggantinyaapalagi dia sakit,,,”

—BILA ANDA MERASA BAHAN RENUNGAN INI SANGAT BERMANFAAT BAGI ANDA DANBAGI ORANG LAIN,MOHON KIRIM EMAIL INI KE TEMAN, FAMILY DAN KERABAT ANDA LAINNYASEMOGA BERMANFAAT

13 Maret 2009

REL KERETA API DI LUENG BIMBA

2 komentar :

REN GEULITAN APUI

Berkas:Kabupaten Pidie Jaya.jpeg

Pidie, Aceh- PUP...pup...puiiiip Pertanda kereta api alias geuritan apui telah tiba. Anak-anak seusia SD yang berada sekitar pinggiran rel bersorak-sorak pertanda rasa gembira, begitu juga dengan anak-anak di Lueng Bimba Kecamatan Meurah Dua dulunya Kecamatan Meureudu. Terkadang mereka dilempari kacang rebus atau kacang goreng oleh penumpang, baik itu orangtuanya maupun famili yang kebetulan hendak bepergian atau bisa jadi baru saja pulang dari arah timur atau barat. Anak-anak berebutan mengambil oleh-oleh tadi.

Sementara sebagian lainnya terlihat `mengejar` kereta api yang berjalan sedikit agak lamban karena akan atau baru saja beranjak dari stasiun.

Di stasiun kereta api Meureudu, mereka menunggu orangtua kembali setelah dua atau tiga hari bepergian ke tempat famili/kerabat dekat di suatu kecamatan. Atau menanti ayahnya pulang mencari nafkah di perantauan baik sebagai pedagang antarkota dalam propinsi, buruh tani dan lain sebagainya. Biasanya, selain mereka membawa pulang segepok uang juga disaertai pakaian, kebutuhan anak-anak termasuk beragam keperluan rumah tangga dan sejenisnya.

Itulah Meureudu, riwayatmu dulu. Pada masa 1960-an hingga tahun 1970, ibukota kecamatan yang merupakan bekas salah satu Kewedanaan di Pidie itu cukup maju dan terkenal. Begitu pula Samalanga. Meski kotanya kecil, tetapi karena letaknya yang sangat strategis, terutama karena adanya stasiun kereta api yang tergolong lumayan besar, membuat wilayah itu relatif lebih duluan berkembang dibanding sejumlah kota-kota lainnya di Aceh khususnya di Kabupaten Pidie.

Hal itu dibenarkan, beberapa warga setempat yang mengaku sudah merasai pahit getirnya hidup di tiga zaman yang ditanya Serambi secara terpisah. Dibandingkan Sigli, yang merupakan ibukota kabupaten, keberadaan Meureudu tempo doeloe termasuk kota maju dan teramai. Konon lagi, Meureudu selain kaya dengan hasil pertanian, juga banyak menghasilkan berbagai jenis ikan laut serta potensial di bidang perikanan darat alias ikan air payau semisal bandeng.

Dari kota kecil berjarak kurang lebih 45 Km arah timur Sigli, waktu itu telah banyak diangkut -dengan kereta api, tentunya– hasil pertanian rakyat (pinang, kelapa, kopra, padi dan sebagainya) serta hasil industri rumah tangga khususnya tikar pandan dalam jumlah banyak. Tak heran kemudian banyak anak-anak asal Meureudu yang mampu melanjutkan sekolah dan kuliah ke kota-kota besar seperti Banda Aceh, Medan bahkan ada yang ke Pulau Jawa.

“Masa jayanya kereta api adalah juga masa jaya Kota Meuredu dan Samalanga. Lalu lintas orang dan barang tak pernah sepi. Sektor pertanian, pendidikan, niaga, hukum, pemerintahan berkembang dengan serentak. Tapi sejak tahun 1971, kereta api jugalah yang telah `mematikan` Meureudu. Ketika riwayat kereta api Aceh berakhir, perlahan lahan ibukota bekas kewedanaan itu mulai redup. Kereta api yang dinanti pun juga tak pernah kembali lagi.

Bus-bus dan truk Banda Aceh - Medan yang menggantikan kereta api sudah melewati jalan negara yang berjarak sekitar tiga kilometer dari ibukota. Keramaian lalu lintas beralih ke persimpangan jalan negara. Sementara Kota Meureudu yang di dalamnya juga terdapat kantor pemerintahan plus pusat perbelanjaan menjadi sepi senyap. Begitu pun itu masih syukur, karena ada para nelayan yang `meriuhkan` kota dengan kehadiran puluhan sampan kayuh (jalo jeue) yang setiap hari mendaratkan hasil tangkapan melalui sungai di pinggiran pasar ikan.

Sehingga suasana tampak agak ramai. Kala itu, Kota Meureudu nyaris menjadi kota mati. Keramaian dan kemajuan beralih ke Beureunuen Ibukota Kecamatan Mutiara. Untung saja, suasana sepi itu sesekali berubah menjadi marak lantaran adanya hiburan alias piasan malam seperti seudati tunang, biola, film layar tancap, akrobat, sandiwara dan sejenisnya. Hiburan rakyat sebagai pelepas rindu akan kesepian itu biasanya hadir ketika panen padi usai.

Ketika kereta api Aceh masih jaya, setiap pekan satu gerbong khusus memuat tikar pandan untuk dijual ke Medan setelah transit di Besitang. Dari Medan, tikar Made In Meureudu lalu diperdagangkan hingga ke sejumlah kota besar lainnya di Sumatera. Sekarang pun, tikar pandan yang dianyam wanita termasuk para gadis Meureudu, Meurah Dua dan sebagian Ulim dan Trienggadeng, tentunya dengan mutu dan kreasi yang lebih menarik diangkut dengan bus dan truk ke luar daerah.

Dari hasil industri rumah tangga ini, kaum wanita disana mampu menambah pendapatan keluarga.

Sungguh pun sekarang ini sudah ada tikar platik dan beragam jenis ambal, namun keberadaan tikar pandan rasanya sulit dilupakan. Jika Anda menelusuri sejumlah desa di Meureudu serta beberapa kecamatan lainnya di Pidie Jaya, mungkin hampir semua rumah memiliki tikar pandan. Selain sebagai tempat duduk lasehan sang tamu, juga sebagiannya dianyam khusus untuk musalla. Corak dan model disertai warna menarik, membuat tamu luar tertarik. Sehingga tidak mengherankan bila tikar itu dijadikan sebagai oleh-oleh khas Meureudu.

Kawasan penghasil tikar terbanyak di empat kecamatan disana antara lain, Desa Jurong Teupin Pukat, Beuringen, Pante Beureune, Lueng Bimba, Buangan, Dayah Kruet, Rieng Blang, Rieng Krueng, Rieng Mancang. Ulim meliputi Desa Siblah Coh, Bueng, Geulanggang, Tijien Usen, Tijien Daboh.

Sementara di Trienggadeng, tikar pandan banyak dianyam wanita di sejumlah desa dalam Kemukiman Pangwa. Pekerjaan ini juga digeluti remaja putri, bahkan usia SD pun mahir.

Lalu, bagaimana dengan sekarang? Menyusul lahirnya Pidie Jaya, Meureudu yang juga ibukota kabupaten kembali dikenali orang. Drs H Salman Ishak, Pj Bupati disana, tampaknya memiliki semangat tinggi dan bertekat untuk membangun daerah yang dipimpinnya hingga mampu bersanding dengan kabupaten/kota lainnya di Aceh. “Saya masih ingat betul, Kota Meureudu itu dulunya terasa sejuk karena semua got berfungsi. Pepohonan yang sengaja ditanami sepanjang jalan utama menjadikan tempat berteduh pejalan kaki,” kenang Salman.

Sejumlah tokoh Pidie Jaya menyebutkan, semangat Pj Bupati yang menggebu-gebu itu tampaknya akan menjadi kenyataan. Alasannya, para kabinet yang mangkal disana memberi dukungan besar terhadap kepemimpinan mantan Kepala Bappeda Pidie yang juga peraih guru teladan tingkat nasional beberapa tahun lalu. Kendati usia Pidie Jaya itu belum sampai empat bulan, namun roda pemerintahan disana mulai berjalan. Dengan berbagai keterbatasan terutama menyangkut sarana dan prasarana, namun mereka terus memacu untuk bisa berdiri sendiri.

Gedung peninggalan Kolonial Belanda yang sebelumnya sebagai Kantor Kewedanaan, kini disulap menjadi pendapa atau Meuligoue Pidie Jaya. Setelah direhablitasi, kelihatannya tak kalah dengan arsitektur masa kini. Sementara bekas kantor camat, dialih fungsi menjadi Kantor Bupati plus sekretariat Pemkab setempat. Kantor DPRK setempat juga tergolong lumayan.

07 Februari 2009

Gagal di Alam Mimpi

Tidak ada komentar :
KOK BISA YA BEGINI

Seperti kebiasaan setiap tahun para pendatang yang berdomisili di Kota Banda Aceh selalu mudik. Pada lebaran tahun 2008 saya juga mudik, anehnya pada waktu saya balik lagi ke Banda Aceh. saya tumpangi sebuah mini bus dari arah Medan menuju Banda Aceh, saya duduk bangku belakang bersama satu penumpang lainnya. Dalam perjalanan kami selalu ngobrol dan tiba-tiba dia tertidur.
Sesampainya di Sare Aceh Besar mini bus itu pun berhenti untuk istirahat. Setelah selesai minum saya kembali ke mini bus yang saya tumpangi itu. karena supirnya belum selesai maka saya tunggu di luar mini bus itu. tiba-tiba datang penumpang yang duduk bersama saya itu masuk kemobil, tidak lama kemudia dia keluar dan datang menghampiri saya dan langsung menampar saya beberapa kali. karena tidak menerima perlakuan itu, saya langsung menanyakan salah apa saya ditampar dengan suara keras dan memaki-maki dia.
Melihat kami sedang bertengkar, semua orang yang mampir di Saree berhamburan kearah kami, tidak lama kemudian polisi yang bertugas di Saree pun datang menanyakan masalah apa yang membuat kami ribut. Setelah polisi itu datang baru penumpang itu bilang bahwa uang dia sebanyak RP. 50.000.000,- dalam tas kecil hilang dan dia menuduh saya yang mengambilnya karena saya yang duduk disamping dia mulai dari Meureudu Pidie Jaya samapi ke Saree Aceh Besar.
Mendengar pernyataan itu saya membantah karena saya tidak mengambilnya, bahkan saya tidak pernah melihat ada uang dia waktu dalam perjalanan. Tidak lama setelah itu, supir mini bus yang kami tumpangi itu datang dan langsung menanyakan "ada apa ribut-ribut". Penumpang itu langsung menjawab bahwa saya telah mencuri uang dia Rp. 50.000.000,- yang diletakkan di kursi. Lalu supir itu mengatakan bahwa yang mengambil uang itu adalah dia (supir) dan telah dipindahkan kedepan dekat dengan tempat duduknya.
Mendengar penjelasan supir, penumpang itu minta maaf kepada saya karena sudah menuduh dan memukul saya. Saya menjawab, minta maaf memang mudah dalam menyelesaikan masalah, tapi bagaimana dengan perasaan saya yang merasa sangat malu karena tuduhan itu di depan orang ramai. Jawaban saya itu membuat penumpang itu dan polisi susah, sehingga polisi berpendapat agar uang sebanyak Rp. 50.000.000 itu dibagi saja. Untuk polisi Rp. 10.000.000,- dan untuk saya Rp. 10.000.000,- agar adil kata polisi itu. Karena takut jadi masalah besar lagi, penumpang itu setuju.
Rp. 10.000.000,- diberikan kepada polisi dan Rp. 10.000.000,- lagi diberikan lagi kepada saya. Belum lagi sempat saya terima uang Rp. 10.000.000,- itu tiba-tiba ada suara panggilan, "nak.....nak.....nak..... bangun sudah pagi. Rupanya ibu saya hanya bermimpi tentang kejadian itu setelah saya baru samapi di kampung waktu pulang Lebaran Idul Fitri tahun 1429 Hijriah atau 2008 Masehi.
Seandainya saja itu kejadian benaran, gak apalah kena pukul beberapa kali asala dapat uang Rp. 10.000.000,- tapi itulah mimpi yang membuat saya susah dan senang hanya beberapa menit saja. Waktu pulang tahun 1430 Hijriah atau 2009 nanti kejadian apa lagi yang saya mipikan ya. Mudah-mudahan mimpi indah saja.................................... he............................ he.............................. he................................

09 Januari 2009

Tanah Kelahiran Ku

1 komentar :
Sejarah Lueng Bimba
Lueng Bimba adalah salah satu Desa pesisi Timur Kabupaten Pidie Jaya yang memiliki sejarah yang unik. Dulu Desa Lueng Bimba adalah salah satu Desa di Kecamatan Meureudu. Karena adanya pemekaran Kecamatan maka jadilah Kecamatan Meurah Dua dan Kecamatan Meureudu yang di batasi oleh sungai/Krueng Meureudu. Desa Lueng Bimba sekarang masuk ke wilayah Kecamatan Meurah Dua. Meureudu sekarang juga menjadi Ibu kota Kabupaten Pidie Jaya setelah dimekarkan dari Kabupaten induk yaitu Kabupaten Pidie. Dalam sejarah, Desa Lueng Bimba lahir karena sebuah legenda. Pada masa zaman dulu Desa ini belum ada nama yang tepat. Dengan adanya sebuah peti yang hanyut melewati melawati Desa ini yang sebelumnya juga pernah dilewati oleh benda lain yang sering digunakan orang Aceh sebagai tempat menyimpan air (Guci). Setelah peti itu dibuka oleh seorang ulama pada masa itu, yaitu Tgk. Japakeh. Isi dari peti itu adalah potongan kayu yang telah terukir rapi. Oleh Tgk. Japakeh potongan-potongan kayu ukir itu dirakitnya sehingga menjadi sebuah "Mimbar" yang sangat indah. Kemudian Mimbar tersebut dimasukkan ke dalam Mesjid tempat berhenti peti itu hanyut sehingga Mesjid tersebut di beri nama "Mesjid Madinah". Nama itu diberikan karena para Ulama dan masyarakat masa itu percaya bahwa "Guci dan Mimbar" itu hanyut dari Madinah Negara Arab Saudi sekarang. Dari sejarah itulah lahir nama Desa Lueng Bimba. karena Mimbar dan Guci itu hanyut melewati anak sungai ("Lueng" dalam Bahasa Aceh) yang membelah Desa tersebut. Kini Desa Lueng Bimba adalah Desa yang makmur baik dalam kehidupan masyarakatnya maupun dalam kegiatan lainnya. Bagi para pembaca kisah sejarah dalam blog ini, untuk informasi lebih jelas lagi tentang Lueng Bimba atau Mimbar ajaib itu. Datang saja langsung ke Desa Lueng Bimba Kecamatan Meurah Dua Kabupaten Meurah Dua. Terima Kasih. dari Putra Asli Desa Lueng Bimba.