Hubungan antara Belanda dengan Aceh sudahkah berakhir? Pertanyaan itu selalu teringat diasaat teringat dengan masa penjajahan belanda ke Indonesia. Sebagai masyarakat Aceh, itu patut saya sanggah mengingat para pendahulu masyarakat Aceh saat itu memperjuangan tanah Aceh dengan pertumpahan darah dan mengorbankan jiwa dan harata bendanya demi kemakmuran anak cucunya dimasa sekarang.
Rabu, 26 Maret 1873, di atas kapal Citadel van Antwerpen, Kerjaan Belanda menyatakan maklumat perang dengan Kerajaan Aceh. Setalah itu serangan besar-besaran dilakukan ke daratan Aceh. Belanda gagal total, Panglima Perang Belanda, JHR Kohler tewas. Berita yang berkaitan dengan Aceh dan Belanda selalu saya baca, baik melalui media online maupun buku-buku yang pernah dikeluarkan di Indonesia. Berikut ini adalah beberapa dari sekian banyak hasil bacaan saya dari berbagai sumber yang saya kumpulkan.
26 Maret 1873 : Belanda Nyatakan Perang Dengan Aceh
Perang
Aceh – Belanda atau disingkat dengan Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan
Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada januari
1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut. Belanda menyatakan Perang terhada Aceh setelah menerima surat balasan dari Sultan Kerajaan Aceh Darussalam. Sultan memutuskan bahwa Aceh tidak akan tunduk kepada ancaman Belanda
dan setiap serangan akan dibalas dengan serangan pula. Segenap lapisan
rakyat diserukan untuk ikut serta dalam perjuangan mempertahankan
kehormatan dan kedaulatan kerajaan Aceh dari setiap serangan dan ancaman
musuh. Sultan bertitah: “Udep merdeka, mate syahid. Langet sihet awan
peutimang, bumoe reunggang ujeuen peurata. Salah narit peudeueng
peuteupat, salah seunambat teupuro dumna.” (Hidup merdeka, mati syahid. Lengit miring awan meluruskan, bumi retak hujan ratakan/menutupi retak. Salah basaha pedang yang luruskan, salah tutup tumpah semua.). Itulah wasiat sang Sultan kepada rakyat Aceh masa itu.
Pada
tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan
tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 5
April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Jendral Mayor Johan Harmen
Rudolf Köhler (J.H.R. Köler), dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler
saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.
Akibat
dari Perjanjian Siak 1858, Sultan Ismail menyerahkan wilayah Deli, Langkat,
Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan
Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh. Belanda melanggar perjanjian
Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London
adalah Belanda dan Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas
kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura.
Keduanya mengakui kedaulatan Aceh. Aceh menuduh Belanda tidak menepati
janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan
oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.
Dengan
dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh
menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan. Ditandatanganinya
Perjanjian London 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania
memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda
harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania
bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada
Britania.
Akibat
perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul
Amerika Serikat, Kerajaan Italia dan Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Aceh
juga mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871. Akibat upaya
diplomatik Aceh tersebut, Belanda menjadikannya sebagai alasan untuk menyerang
Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2
kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah
tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud
menolak untuk memberikan keterangan.
Perang
Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Mahmud Syah
melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat
dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh
hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut
kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan.
Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng
Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan
beberapa wilayah lain.
Perang
Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten.
Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan
sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten
mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan
Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang
dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini
adalah perang total dan frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan,
meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan
tempat-tempat lain.
Perang
ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi
sabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903.
Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima
Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak
Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku
Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
Perang
keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan
perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan
Kesultanan.
Taktik
perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan maréchaussée
yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah
mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk
mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik
berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota
keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan
Tengku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim.
Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai.
Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat
meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut
Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya
Panglima Polim meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada Desember
1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang
menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.
Taktik
selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di
bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz.
Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) dimana 2.922 orang dibunuhnya,
yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.
Taktik
terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan
perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap dan
diasingkan ke Sumedang.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Terimakasih Komentarnya